Suara.com - Mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Anies Baswedan baru saja menonton film The Edge of Democracy selama momen awal tahun 2023 ini. Bagaimana sinopsis The Edge of Democracy?
Apa istimewanya film dokumenter buatan Petra Costa tersebut? Sampai-sampai Anies menghabiskan momen tahun baru bersama putranya, Mikail dengan menonton The Edge of Democracy.
"Menghabiskan awal tahun bersama Mikail dengan menonton The Edge of Democracy (2019) di Netflix. Dokumenter yang dibuat oleh Petra Costa, sineas perempuan milenial dari Brazil, bercerita tentang erosi demokrasi dan perjalanan politik Lula da Silva sebagai Presiden," tulis Anies dalam akun Twitter @aniesbaswedan, Senin (2/1/2023)
Simak sinopsis The Edge of Democracy berikut untuk mengetahui apa istimewanya film yang ditonton Anies.
Baca Juga: Pengeroyok Ketua Relawan Anies Harus Dihukum Berat, NasDem Sebut Masih Banyak Preman Bergentayangan!
Sinopsis The Edge of Democracy
Film The Edge of Democracy menceritakan tentang pemakzulan seorang presiden, pemenjaraan presiden lainnya, dan kemenangan politik otoriter yang terjadi di Brasil.
Latar waktu film dokumenter ini dimulai setelah rezim militer Brasil yang kala itu dipimpin oleh Luiz Inacio Lula da Silva (Lula) mulai runtuh. Lula telah memerintah Brazil selama 8 tahun.
Pasca Lula lengser, kursi kepemimpinan ganti diduduki oleh Dilma Rousseff, sekutunya dari Partai Buruh. Rousseff adalah presiden perempuan pertama di Brazil.
Namun tahun 2017, Rousseff dimakzulkan dan Lula dipenjara. Setelah muncul banyak dugaan korupsi di pemerintah.
The Edge of Democracy adalah dokumenter politik dan memoar pribadi beradu dalam penjelajahan kebenaran rumit di balik terurainya dua rezim kepresidenan Brasil.
Melalui film ini, Petra Costa memenangkan penghargaan Peabody (2020), Platino Awards (2020), Doc NYC (2019) dan APCA Award (2019). Penghargaan tersebut untuk kategori film dokumenter terbaik.
Kritikan
Disamping itu, sang sutradara pun tak lepas dari kritikan. Kritikus film AO Scott menyebut Petra Costa, sang sutradara film malah gagal menyembunyikan kesetiaan politiknya.
Pendapat Scott yang dimuat di The New York Times mengatakan bahwa film tersebut menyoroti kekecewaan terhadap partai sayap kiri.
Costa tidak menyembunyikan kesetiaan politiknya, dan keterusterangannya. Menurutnya, potret Costa tentang Lula, dan Rousseff, "hampir tidak kritis".
Perlu diketahui, orang tua Petra Costa adalah aktivis sayap kiri, yang mengalami penganiayaan sekitar tahun 1960-an dan 70-an. Bahkan, ibunya dan Dilma Rousseff menghabiskan waktu di penjara yang sama.
Pendapat Anies
Bagi Anies Baswedan, film dokumenter ini malah mengingatkannya dengan buku How Democracies Die yang mana ada tiga tahap untuk melemahkan demokrasi secara perlahan dan tak disadari.
Tahap pertama adalah “kuasai wasitnya”. Mengganti para pemegang kekuasaan di lembaga negara netral dengan pendukung status quo.
"Kedua, “singkirkan pemain lawan”. Singkirkan lawan politik dengan cara kriminalisasi, suap, atau skandal. Ketiga, “ganti aturan mainnya”. Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan," jelas Anies.
Menurut Anies, demokrasi itu tidak boleh diterima begitu saja, melainkan harus dirawat agar tidak memudar.
"Penyimpangan walau hanya kecil namun kontinyu terhadap etika dan praktik demokrasi akan menjadi lebar bila dibiarkan," tulis Anies.
"Salut untuk Petra Costa yang mengangkat tema penting ini," imbuhnya.
Demikian penjelasan tentang sinopsis The Edge of Democracy, film dokumenter buatan sutradara Petra Costa yang ditonton Anies Baswedan.