Kota Ambon, klaim Angga, dijadikan sebagai episentrum konflik selain sejumlah daerah lain seperti Poso dan Sampit.
"Kami sadar bahwa konflik beragama di Ambon adalah sebuah setting yang dilancarkan saat transisi kekuasaan 1998 - 1999. Ambon dijadikan episentrum konflik, selain beberapa daerah lain seperti Poso dan Sampit," tulis Angga.
Dia mengajak masyarakat untuk melihat lebih dekat tentang film Cahaya Dari Timur. Di film itu, ada lagu 'Hena Masa Waya'. Lagu itu, kata Angga, merupakan lagu anthem penentuan nasib sendiri oleh para orang Maluku.
Lagu itu, tulis Angga, sempat dilarang untuk dinyanyikan pada rezim Orde Baru. Kemudian, dia juga menyebut lagu lain di film itu, yakni 'Puritan' dan 'Pattimura' sebagai lagu perlawanan.
Baca Juga: Dewi Perssik Sering Disepelekan Penyanyi Lain, Tapi Tidak Glenn Fredly
"Tengok lebih dalam di filmnya; lagu "Hena Masa Waya" yang ada di dalam film adalah self determination anthem orang Maluku yang bahkan pernah dilarang di masa Orde Baru. "Puritan" dan "Pattimura" adalah lagu perlawanan," tulis dia.
Angga juga menuliskan, karakter-karakter di film itu menyebut Jakarta dengan kata 'Jawa' untuk merepresentasikan hegemoni.
"Dalam kisah aslinya Tim Jakarta adalah lawan yang curang, begitupun dalam film, "Jakarta" adalah antagonisms. Merepresentasi kekuasaan terpusat yang merusak tatanan masyarakat Maluku lewat konflik," tulis Angga.
Sementara, Beta Maluku adalah pernyataan Glenn Fredly dalam menarasikan Indonesia Timur. "Baginya tidak ada Indonesia tanpa Maluku, Papua dan Nusa Tenggara," tulis Angga.
Menurut Angga, membawa pesan hak untuk menentukan nasib sendiri untuk orang-orang Timur yang masih termarjinalkan ke jantung kekuasaan merupakan sebuah kemenangan.
Baca Juga: Duet Glenn Fredly - Dewi Perssik Sempat Ditentang Label Musik
Apalagi, film tersebut ditonton oleh Presiden Jokowi di dalam Istana Negara yang menjadi simbol sentral dari sebuah negara.