Suara.com - Hadassah of Indonesia dan Maarif Institute menggelar nonton film dokumenter "Of Many" bersama di Maarif Institute, Jalan Tebet Barat Dalam, Jakarta Selatan pada Rabu (30/5/2018). Film itu memperlihatkan persahabatan seorang Muslim dengan seorang Yahudi yang mampu meredam konflik dan mengurangi penyebaran kebencian antar agama.
Monique Rijkers, Founder of Hadassah of Indonesia mengatakan bahwa film tersebut memperlihatkan sebuah dialog mampu meredam kesalahpahaman serta kesenggangan antar umat beragama.
"Bagaimana caranya mempertemukan atau memperkenalkan iman masing-masing? Cara yang paling mudah tentu dialog. Kita merasa banyak konflik menurut saya disebabkan ketidaktahuan, kesalahpahaman, tidak saling mengenal. Padahal kalau sudah kenal, kita akan mengerti, oh, ternyata orang Hindu tradisi ritualnya seperti ini, oh, orang Kristen ibadahnya seperti ini," kata Monique kepada Suara.com.
Monique menjelaskan, apabila dialog tidak berhasil dilakukan, seseorang harus banyak membaca buku dari sumber yang terpercaya atau melakukan sebuah perjalanan jauh ke tempat-tempat yang memiliki budaya keagamaan berbeda.
Baca Juga: Maarif Institute Kutuk Keras Pelaku Bom di 3 Gereja Surabaya
"Kita pergi ke suatu tempat, Thailand misalkan, kita akan ketemunya pagoda dimana-mana. Kalau kita perginya ke Yerussalem misalkan, kita akan menemukan, oh, orang Yahudi berdoanya ke arah tembok ratapan, sebaliknya kalau kita ke Roma kita akan melihat tradisi Kristen Katolik disana. Jadi pengalaman-pengalaman inilah yang dibutuhkan banyak orang sebetulnya kita gak bisa hidup merasa bahwa kita sendirian aja, nih," jelas Monique.
Ia pun melihat masyarakat Indonesia yang notabene tinggal dengan bermacam-macam agama, suku, etnis, dan bahasa seharusnya bisa memahami akan adanya perbedaan.
"Begitu banyak perbedaan dan kita tidak bisa berharap semua orang sama dengan kita, tetapi kita bisa berharap setiap orang punya penerimaan terhadap perbedaan kalau tidak bisa nerima tidak akan bisa ada perdamaian. Kalau tidak bisa tahan dengan perbedaan akan ada konflik terus," bebernya.
Selain itu, Direktur Riset Maarif Institute Moh. Shofan, sangat mengapresiasi dengan adanya kegiatan nonton film dokumenter tersebut. Pasalnya, ia melihat metode ceramah tidak terlalu efektif bagi para anak-anak muda yang mudah terdoktrin dengan paham-paham radikalisme.
"Salah satu strategi yang harus kita lakukan kepada anak-anak didik kita masayarakat secara umum dengan cara menonton film, tidak cukup dengan ceramah. Tapi kalau kita ajak nonton film lalu kita tanya satu persatu, merefleksikan apa yang mereka tonton, refleksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan mereka sehari-hari, walaupun mereka berangkat dari satu agama yang sama atau berbeda namun secara kultural itu berbeda, punya interaksi sosial yang berbeda," jelas Shofan.
Baca Juga: Maarif Award 2018, Mencari Sosok Pejuang Kemanusiaan di Pelosok
Ia pun menambahkan bahwa film tersebut harus diproyeksikan kepada masyarakat terutama kepada kelompok-kelompok yang terpapar radikalisme.
"Saya bilang radikalisme itu bukan hanya di sekolah. Bisa jadi di masyarakat, bisa jadi di keluarga, di intistusi pendidikan. Paling tidak, dengan film ini kita mulai merajut lagi kebhinekaan merajut lagi kemajemukan," pungkasnya.
Dalam film tersebut, Khalid Latif seorang Imam besar di Islamic Center New York University bersahabat dengan Rabbi Yehuda Sarna, seorang pemimpin Bronfman Center untuk kehidupan siswa Yahudi New York University. Persahabatan tersebut berawal dari terjalin berkat keterbukaan serta kepedulian satu sama lain akan toleransi beragama.
Apalagi pada saat itu terjadi serangan 11 September 2001, di mana kelompok militan Islam Al-Qaeda membajak empat pesawat jet berpenumpang dan dengan sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York. Peristiwa itu menggoyahkan toleransi beragama di Amerika Serikat karena banyak bermunculan kebencian diantara umat beragama.
Oleh karena itu, Khalid Latif dan Rabbi Yehuda Sarna banyak melakukan dialog, bertukar pikiran, serta memikirkan gagasan agar siswa-siswi di kampusnya tidak terdoktrin dengan kebencian tersebut.
Gagasan muncul saat badai Katrina melanda Amerika Serikat wilayah Pantai Timur pada 29 Agustus 2005, sekitar satu juga orang terpaksa kehilangan tempat tinggal. Khalid Latif dan Rabbi Yehuda Sarna mengirimkan 15 siswa muslim dan 15 siswa Yahudi untuk membantu renovasi rumah para korban badai Katrina, dengan tujuan menumbuhkan rasa kepedulian serta merasakan kedamaian saat hidup berdampingan meskipun berbeda agama.
Cara mereka terbilang efektif karena di hari-hari awal kelompok siswa muslim masih berjaga jarak dengan kelompok siswa Yahudi, akan tetapi mereka malah bersahabat di hari-hari terakhir.