Buku sejarah musik itu juga bercerita tentang kontroversi di seputar perkembangan awal berkembangnya musik keroncong. Cerita itu memperlihatkan bahwa pro dan kontra terhadap hal baru serta cerita-cerita buruk dan berbagai kekhawatiran terhadap hal baru memang selalu terjadi.
Musik keroncong pernah menjadi musiknya orang jalanan. Musik yang oleh orang-orang berada sangat tidak diharapkan kemunculannya. Soalnya, ketika para musikus keroncong itu beraksi, maka akan ada noni belanda yang rela jatuh kepelukan orang pribumi atau pun anak-anak keroncong indo-belanda, yang tentu saja berbeda kelas.
Kontroversi sebagai musik jalanan yang mengganggu ketenangan itu mirip dengan maraknya "breakdance" pada 1980-an. Ketika itu, anak-anak muda berkelompok-kelompok berpetualang dari wilayah satu ke wilayah lain sekadar memamerkan dan mengadu kemampuan menari dengan jago-jago "breakdance" di wilayah yang didatangi.
Kelakuan anak-anak muda yang berpakaian khas "breakdance", longgar dan kedodoran, serta suara musik ingar-bingar dari "radiotape" besar yang dipanggul ke mana-mana itu sempat membuat heboh orang tua, bahkan sejumlah agamawan.
Baca Juga: Alquran Kuno Ditemukan di Masjid Umar Bin Khattab Palestina
Soal lirik musik keroncong yang "norak" alias "lebay" juga menjadi perbincangan hangat di media kala itu. Lirik yang dianggap "lebay" itu, misalnya "Djiwa Manis Indoeng Disajang", yang dijadikan judul buku sejarah musik ini.
Kritik kepada lirik lagu keroncong yang marak pada 1920-an itu bolehlah dianggap sebagai suatu kewajaran, sebagai jalan dari membaiknya perkembangan sebuah genre musik.
Hal yang wajar, karena kritik pada lagu-lagu pop juga terjadi pada 1980-an akhir. Ketika itu muncul istilah lagu-lagung cengeng, yang sempat dihambat kemunculannya di televisi.
Buku ini juga memperlihatkan, justru berbagai kritik dan perdebatanlah yang membuat sesuatu menjadi makin baik, termasuk membaiknya lirik-lirik lagu keroncong.
Baca Juga: JK Diklaim Dukung Airlangga Gantikan Setya Novanto di Golkar