Dari Rangga ke Khudori, 'Laki-laki Baru' di Film Indonesia

Ruben Setiawan Suara.Com
Kamis, 09 November 2017 | 20:47 WIB
Dari Rangga ke Khudori, 'Laki-laki Baru' di Film Indonesia
Nicholas Saputra dalam AADC. (Miles Film)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebelum tahun 2000-an tokoh utama pria di sinema Indonesia ditampilkan sebagai kepala rumah tangga, pemberi nafkah, pengayom, dan pelindung. Sejak tahun 2000-an tokoh utama laki-laki mulai digambarkan bersifat lembut, sensitif, ekspresif secara emosional, egalitarian, terlibat dalam pengasuhan, mau berkompromi soal karier demi mendukung pasangannya dan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga.

Pergeseran itu menunjukkan perubahan penggambaran maskulinitas ideal di sinema Indonesia. “Laki-laki baru” mulai hadir di sinema Indonesia.

Ada Apa dengan Cinta” (2002) menggemparkan Indonesia tidak hanya dengan adegan ciuman remaja, tapi juga dengan maskulinitas jenis baru yang ditawarkan melalui Rangga.

Rangga tidak seperti Boy, peran utama film “Catatan Si Boy”, idola remaja Indonesia pada 1980-1990an. Boy kaya, supel, suka olahraga, fisiknya kekar, dan populer. Rangga pendiam, intelektual, tidak agresif, lembut, puitis, dan bisa memasak.

Walaupun masih mempertahankan citra otoriter dan kurang sensitif, yang ditentang oleh tokoh utama perempuan Cinta, Rangga adalah proto-laki-laki baru.

Sederet karakter laki-laki yang mengunggulkan maskulinitas laki-laki baru mengikuti kemunculan Rangga. Bahkan film “Arisan!” (2003) menghadirkan Sakti seorang pria gay yang sensitif dan suportif terhadap perempuan sebagai sosok maskulinitas ideal yang dapat ditiru laki-laki heteroseksual.

Perempuan Berkalung Sorban” (2008) menampilkan Khudhori sebagai sosok yang terdidik, alim, tidak agresif, lembut, mau berbagi pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, serta mendukung istrinya menempuh pendidikan tinggi menempuh pendidikan tinggi dan tidak terganggu dengan istrinya yang mandiri secara ekonomi.

Pergeseran representasi maskulinitas ideal 

Idealisasi maskulinitas laki-laki baru bertentangan dengan maskulinitas ideal era sebelumnya, yang sering disebut Bapakisme.

Bapakisme dominan dalam film-film pada 1970 hingga awal 1990-an. Negara melegitimasi representasi maskulinitas ini, misalnya melalui film propaganda “Pengkhianatan G30S/PKI” (1981). Sang tokoh utama, Mayor Jendral Soeharto, juga para jenderal yang digambarkan menjadi korban kekejaman PKI adalah representasi laki-laki maskulin ideal yang melindungi dan mengayomi keluarga dan negara, selain tentunya menjadi tulang punggung keluarganya.

Dalam hegemoni Bapakisme sendiri ada banyak kontradiksi. Tidak semua laki-laki bisa menjadi pemberi nafkah keluarga. Namun kontradiksi dari citra maskulinitas ideal itu diredam dengan tetap menggambarkan mereka sebagai kepala rumah tangga, bagian dari posisi yang mereka dapatkan secara otomatis dalam sistem patriarkal. Selain itu perempuan digambarkan boleh bekerja asal tetap memprioritaskan peran domestik dan reproduktif-nya.

Film “Di Balik Kelambu” (1983), yang laris dan sukses di Festival Film Indonesia 1984, menggambarkan maskulinitas yang menekankan pada peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga. Meski ada tekanan psikologis kepada laki-laki yang tidak bisa memenuhinya, film ini tetap meneguhkan posisi suami sebagai kepala keluarga yang memegang kuasa terhadap keluarganya. Sang suami ingin membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik dengan tidak membuat istrinya bekerja di luar rumah dan fokus pada peran domestiknya. 

Selain itu, dalam film “Sesal” (1994), sosok ibu ideal yang direpresentasikan melalui seorang diplomat wanita adalah pemikul beban ganda di ruang publik dan domestik.

Perubahan tatanan gender

Alternatif maskulinitas yang hadir dalam bentuk “laki-laki baru” di Indonesia muncul seiring dengan adanya tekanan terhadap tatanan gender yang dominan di Indonesia.

Tekanan ini antaranya datang dari imbas krisis ekonomi Asia di akhir 1990-an serta runtuhnya Orde baru, salah satu institusi penting yang menyokong hegemoni maskulinitas Bapakisme.

Pasca-Orde Baru, gerakan perempuan semakin intensif berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Gerakan perempuan juga menginspirasi lahirnya gerakan laki-laki pendukung kesetaraan gender, seperti Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) yang mewadahi pemberontakan laki-laki Indonesia terhadap konstruksi Bapakisme.

Selain itu, mapannya alternatif maskulinitas di berbagai belahan dunia serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyertai bergulirnya milenium ketiga juga menyumbang pada tekanan ini.

Perubahan pada tatanan gender ini mempengaruhi representasi perempuan dan femininitas ideal di film, dan produk budaya populer lainnya. Perempuan bekerja dan aktif dalam peran publik makin mapan posisinya sebagai bentuk femininitas ideal alternatif. Semangat perubahan ini juga mempengaruhi representasi laki-laki dan maskulinitas di layar lebar.

Maskulinitas dalam kesetaraan gender

Dalam konteks perjuangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, laki-laki dan maskulinitas seringkali ditempatkan sebagai sumber masalah: pelaku kekerasan dalam rumah tangga, penikmat dividen patriarki, dan konstruksi sosial yang mendukung pelestarian ketimpangan gender dan memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Dari situ muncul tekanan untuk berinovasi dalam representasi maskulinitas ideal dalam sosok laki-laki baru yang mendukung ide-ide kesetaraan dan keadilan gender, serta menentang kekerasan dalam rumah tangga.

Otoritas laki-laki dalam pernikahan, khususnya dalam berpoligami, dikuliti habis dalam “Berbagi Suami” (2006). Film tersebut juga memunculkan sosok laki-laki baru melalui karakter anak dari salah satu pasangan poligami. Ia tumbuh sebagai lelaki yang pengertian terhadap siksaan batin yang dialami ibunya.

Fahri dalam “Ayat-ayat Cinta” (2008) pun lantang menyuarakan status dan kedudukan perempuan dalam Islam yang sejalan dengan feminisme, meskipun pada perjalannya dia tertatih dalam usaha mewujudkannya. Film “9 Summers 10 Autumns” (2013) menawarkan maskulinitas laki-laki baru melalui tokoh Iwan yang menentang budaya kekerasan yang dilanggengkan dalam cara orang tua mendidik dan dalam pergaulan anak laki-laki.

 Tantangan terhadap ‘laki-laki baru’

Usaha untuk melegitimasi alternatif maskulinitas melalui film bukan tanpa tantangan. Seiring dengan menguatnya upaya perubahan terhadap hegemoni Bapakisme, muncul juga dukungan dan upaya untuk terus melestarikannya.

Golongan muslim yang mendukung interpretasi literal terhadap ajaran Islam adalah salah satu penentang yang paling kuat, baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu, golongan ini juga mendukung agar perempuan lebih mengutamakan peran domestik dan reproduktif.

Film “Kun Fayakun” (2008), misalnya, menggunakan agama untuk meneguhkan hegemoni maskulinitas ideal ala Bapakisme dan femininitas ideal Ibuisme.

Di luar perfilman, kampanye media sosial dan aksi protes oleh organisasi dan ulama Islamis untuk menentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender secara tidak langsung menguatkan tantangan dalam mempopulerkan maskulinitas ideal alternatif.

Ini membatasi aspek dan gaya estetika dalam menantang hegemoni Bapakisme di perfilman. Sampai sekarang belum ada film komersial yang menggambarkan maskulinitas ideal melalui sosok laki-laki bapak rumah tangga penuh waktu. Yang dianggap ideal selama ini adalah laki-laki kelas menengah yang rela berkompromi dalam hal karier untuk mendukung karier istrinya dan terlibat dalam pengasuhan. Kemandirian ekonomi perempuan dan keterlibatan laki-laki dalam ranah domestik harus ditampilkan sedemikian rupa agar tidak terlihat mencolok dan subversif.

Pergeseran representasi maskulinitas ideal dalam sinema Indonesia saat ini memberikan gambaran bahwa konstruksi maskulinitas ideal tidak pernah stabil. Jika keadaan memungkinkan, versi maskulinitas yang diterima kebanyakan masyarakat bisa saja kehilangan statusnya dan bisa menjadi maskulinitas subordinat, atau pada titik tertentu bahkan dibenci, dan akan digantikan oleh yang baru.

Penulis Evi Eliyanah

PhD Candidate in School of Culture, History and Language, Australian National University

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di The Conversation. 

The Conversation

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI