Senjakala Majalah Rolling Stone dan Tubir Jurnalisme Gonzo

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 18 September 2017 | 14:43 WIB
Senjakala Majalah Rolling Stone dan  Tubir Jurnalisme Gonzo
Pameran 50 tahun majalah Rolling Stone di Rock and Roll Hall of Fame dan Museum, Cleveland, Ohio, 30 Agustus 2017. [AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bagi pencinta musik metal dan rock ‘n roll, pun pemerhati perkembangan wacana perlawanan budaya serta gaya hidup mapan khas industrialis, majalah Rolling Stone tak lagi sekadar bacaan kala senggang, tapi sudah menjadi ”ritual”. Namun, ritual itu terancam punah seiring Rolling Stone yang memasuki masa senjakala bisnisnya.

Rolling Stone, majalah musik dan subkultur yang sudah 50 tahun terakhir menjadi ikon dunia, tampak sudah berada di tubir idealisme dan kemampuannya melawan arus bisnis media yang semakin ”kejam” terhadap ruang redaksi.

Seperti diberitakan Agence France-Presse, Senin (18/9/2017), pemilik Rolling Stone kekinian tengah mencari investor yang mau membeli perusahaannya di tengah ketidakpasatian masa depan bisnis majalah tersebut.

Jann Wenner, sang pemilik yang mulai menerbitkan majalah itu sejak menjadi hippie sekaligus mahasiswa di Barkeley, Califonia, tahun 1967 lalu, mengatakan kepada The New York Times bahwa keluarganya kesulitan untuk terus menerbitkan Rolling Stone.

Baca Juga: Kesaksian di YLBHI, Lihat Massa Marah, Ada yang Takut dan Pingsan

"Ada level ambisi yang ternyata tak bisa kami capai sendirian," tutur Jann yang kekinian menjalankan perusahaan penerbitan Rolling Stone bersama putranya, Gus.

Rolling Stone selama ini dikenal sebagai referensi bagi siapa pun yang ingin mengetahui perkembangan musik, terutama rock di seluruh dunia.

Tak hanya itu, majalah itu juga menjadi medium bagi para penulis serta jurnalis eksperimental seperti Hunter Stockton Thompson (18 Juli 1937 – 20 Februari 2005).

Thompson adalah jurnalis dan pengarang asal Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pencipta ”jurnalisme gonzo”, yakni gaya penulisan jurnalistik yang ditulis secara subjektif, sering termasuk reportase sebagai bagian dari cerita lewat cerita orang pertama. Jurnalisme Gonzo juga cenderung memadukan gaya penulisan fakta dan fiksi, yang menekankan unsur-unsur melibatkan emosi dan memberikan pesan terselubung pada pembaca.

Skandal Jurnalistik

Baca Juga: Polisi Lacak Otak Pengepungan Kantor YLBHI

Namun, di balik reputasi besarnya itu, nama baik Rolling Stone—termasuk keuangannya—ternyata terus memburuk dari tahun ke tahun sejak skandal jurnalistik tahun 2014 silam.

Kala itu, Rolling Stone terpaksa mengumumkan pencabutan berita mengenai dugaan pemerkosaan geng di University of Virginia.

Sebabnya, kasus pemerkosaan massal tersebut tidak ada. Rolling Stone dianggap tidak melakukan prosedur jurnalistik dasar untuk memverifikasi fakta.

Kisah  sendu redaksi dan bisnir Rolling Stone terus berlanjut pada 2016. Tahun lalu, Jann terpaksa menjual 49 persen sahamnya kepada perusahaan start-up musik dan teknologi yang berbasis di Singapura, BandLab Technologies. Perusahaan itu adalah milik Kuok Meng Ru, pewaris salah satu keluarga terkaya Asia.

Selanjutnya, keluarga Jann pada awal tahun 2017 juga kembali menjual perusahaan majalah mingguan selebriti dan majalah bulanan gaya hidup pria, yang terafiliasi dengan Rolling Stone.

Kedua majalah itu dijual kepada American Media Inc, penerbit terkenal di bidang tabloid yang juga menerbitkan “tabloid kuning” The National Enquirer.

Jika American Media Inc memunyai ketertarikan membeli Rolling Stone, para analis memastikan terjadi perubahan "ideologi" dalam majalah tersebut.

Imperium perusahaan tabloid yang dipimpin David Pecker itu, selama ini dikenal sebagai salah satu sekutu terbesar Presiden AS Donald Trump.

Hal itu berbanding terbalik dengan garis politik redaksi Rolling Stone yang selama ini cenderung "kiri" dan sempat mengemas wawancara panjang dengan dua presiden asal Partai Demokrat, Bill Clinton dan Barack Obama.

Namun,  di tengah kekalahannya di medan pertempuran bisnis, Jann Wenner—sang maestro yang kekinian berusia 71 tahun—masih berharap tetap memegang kendali redaksi Rolling Stone meski nantinya majalah itu sudah dimiliki orang lain.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI