Kala itu, Rolling Stone terpaksa mengumumkan pencabutan berita mengenai dugaan pemerkosaan geng di University of Virginia.
Sebabnya, kasus pemerkosaan massal tersebut tidak ada. Rolling Stone dianggap tidak melakukan prosedur jurnalistik dasar untuk memverifikasi fakta.
Kisah sendu redaksi dan bisnir Rolling Stone terus berlanjut pada 2016. Tahun lalu, Jann terpaksa menjual 49 persen sahamnya kepada perusahaan start-up musik dan teknologi yang berbasis di Singapura, BandLab Technologies. Perusahaan itu adalah milik Kuok Meng Ru, pewaris salah satu keluarga terkaya Asia.
Selanjutnya, keluarga Jann pada awal tahun 2017 juga kembali menjual perusahaan majalah mingguan selebriti dan majalah bulanan gaya hidup pria, yang terafiliasi dengan Rolling Stone.
Baca Juga: Kesaksian di YLBHI, Lihat Massa Marah, Ada yang Takut dan Pingsan
Kedua majalah itu dijual kepada American Media Inc, penerbit terkenal di bidang tabloid yang juga menerbitkan “tabloid kuning” The National Enquirer.
Jika American Media Inc memunyai ketertarikan membeli Rolling Stone, para analis memastikan terjadi perubahan "ideologi" dalam majalah tersebut.
Imperium perusahaan tabloid yang dipimpin David Pecker itu, selama ini dikenal sebagai salah satu sekutu terbesar Presiden AS Donald Trump.
Hal itu berbanding terbalik dengan garis politik redaksi Rolling Stone yang selama ini cenderung "kiri" dan sempat mengemas wawancara panjang dengan dua presiden asal Partai Demokrat, Bill Clinton dan Barack Obama.
Namun, di tengah kekalahannya di medan pertempuran bisnis, Jann Wenner—sang maestro yang kekinian berusia 71 tahun—masih berharap tetap memegang kendali redaksi Rolling Stone meski nantinya majalah itu sudah dimiliki orang lain.
Baca Juga: Polisi Lacak Otak Pengepungan Kantor YLBHI