Suara.com - Bagi pencinta musik metal dan rock ‘n roll, pun pemerhati perkembangan wacana perlawanan budaya serta gaya hidup mapan khas industrialis, majalah Rolling Stone tak lagi sekadar bacaan kala senggang, tapi sudah menjadi ”ritual”. Namun, ritual itu terancam punah seiring Rolling Stone yang memasuki masa senjakala bisnisnya.
Rolling Stone, majalah musik dan subkultur yang sudah 50 tahun terakhir menjadi ikon dunia, tampak sudah berada di tubir idealisme dan kemampuannya melawan arus bisnis media yang semakin ”kejam” terhadap ruang redaksi.
Seperti diberitakan Agence France-Presse, Senin (18/9/2017), pemilik Rolling Stone kekinian tengah mencari investor yang mau membeli perusahaannya di tengah ketidakpasatian masa depan bisnis majalah tersebut.
Jann Wenner, sang pemilik yang mulai menerbitkan majalah itu sejak menjadi hippie sekaligus mahasiswa di Barkeley, Califonia, tahun 1967 lalu, mengatakan kepada The New York Times bahwa keluarganya kesulitan untuk terus menerbitkan Rolling Stone.
Baca Juga: Kesaksian di YLBHI, Lihat Massa Marah, Ada yang Takut dan Pingsan
"Ada level ambisi yang ternyata tak bisa kami capai sendirian," tutur Jann yang kekinian menjalankan perusahaan penerbitan Rolling Stone bersama putranya, Gus.
Rolling Stone selama ini dikenal sebagai referensi bagi siapa pun yang ingin mengetahui perkembangan musik, terutama rock di seluruh dunia.
Tak hanya itu, majalah itu juga menjadi medium bagi para penulis serta jurnalis eksperimental seperti Hunter Stockton Thompson (18 Juli 1937 – 20 Februari 2005).
Thompson adalah jurnalis dan pengarang asal Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pencipta ”jurnalisme gonzo”, yakni gaya penulisan jurnalistik yang ditulis secara subjektif, sering termasuk reportase sebagai bagian dari cerita lewat cerita orang pertama. Jurnalisme Gonzo juga cenderung memadukan gaya penulisan fakta dan fiksi, yang menekankan unsur-unsur melibatkan emosi dan memberikan pesan terselubung pada pembaca.
Skandal Jurnalistik
Baca Juga: Polisi Lacak Otak Pengepungan Kantor YLBHI
Namun, di balik reputasi besarnya itu, nama baik Rolling Stone—termasuk keuangannya—ternyata terus memburuk dari tahun ke tahun sejak skandal jurnalistik tahun 2014 silam.