Suara.com - Teuku Rifnu Wikana ternyata punya kesibukan lain, selain menjadi aktor seni peran. Rifnu ternyata menjadi produser film Night Bus bersama Darius Sinarthrya yang tayang awal bulan April 2017.
Selain menjadi produser, Rifnu juga menulis skenario dan cerita untuk film yang dibintangi Edward Akbar, Alex Abbad, dan Yayu Unru itu. Ternyata perkenalan Rifnu dalam dunia tulis menulis sudah berlangsung lama saat dirinya bermain bersama teman-temannya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Rifnu punya banyak kenalan sastrawan hebat yang kerap nongkrong di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM). Karyanya juga sering dipentaskan di panggung TIM.
Untuk lebih lengkapnya, berikut wawancara Suara.com bersama Rifnu soal dunia tulis menulis yang digelutinya:
Baca Juga: Di-bully Fans BTS, Cinta Kuya Mogok Sekolah 2 Hari
Film Night Bus terinspirasi dari cerpen Anda?
Iya betul, sebenarnya kalau nulis itu udah dari 2008 saya nulis naskah drama, dan itu jadi naskah terbaik di Festival Teater Jakarta. Jadi nulis itu sudah cukup lama. Jadi proses menulis naskah untuk monolog sendiri, yang tadinya mau dipentasin. Nah yang dijadiin skenario film Night Bus ini judulnya Selamat. Ini tuh tadinya karya monolog saya yang mau dipentasin, eh malah saya tulis jadi cerpen.
Bisa diceritakan proses dari dikenalnya cerpen Anda hingga dijadikan film?
Pas udah jadi cerpen akhirnya ada satu senior saya, seorang sastrawan, namanya Martin Aleida, bilang ini boleh ngggak saya bawa ke Lentera Timur.com. Terus saya bilang yaudah bawa aja, itu langsung dipublish di situs itu. Nah di situs itu banyak sekali yang komentar, salah satunya Ratna Sarumpaet pembacanya. Yang bilang ini harus difilmkan, saya memang sebelumnya sudah terpikir hal itu. Saya berterima kasih juga sama bang Martin, karena jadi banyak yang tahu dan membaca karya saya.
Pengalaman tulis menulis Anda sebelum main film bagaimana?
Baca Juga: Begini Reaksi Luna Maya dan Reino Disinggung Rencana Pernikahan
Bersamaan sih sebenarnya, ketika saya menjalani seni peran, saya kan bukan anak sekolahan jadi kebetulan saya tinggal dan kos main bareng anak-anak IKJ. Yang memang semua bukunya, tugasnya saya ambil dan saya perbanyak. Saya pikir daripada bayar uang kuliah mending saya foto kopi belajar sendiri. Saya bikin naskah teater yang terinspirasi dari buku-buku yang saya baca.
Sebelum-sebelumnya saya juga sudah nulis puisi, cerpen-cerpen juga tapi nggak banyak. Karena memang saya nggak bisa nulis bentuknya pesanan. Semua karya saya itu berdasarkan endapan yang kemudian membatu.
Jenis tulisannya seperti apa?
Saya lebih sisi humanis yang saya angkat. Soalnya dari dulu arah saya membaca buku sukanya karya Iwan simatupang. Kan karyanya beliau nggak jauh-jauh dari soal manusia. Mempertanyakan keberadaan manusia, aku ini siapa sih.
Kayak karya saya yang Selamat ini terus dijadikan film Night Bus ini kan dimetaforakan seperti suatu negara. Tapi konflik menyudutkan mereka, yang akhirnya membuat manusia saling bersatu dan membantu, dan jadi manusiawi banget.
Situs Lentera Timur itu lebih kekir-kirian ya kalau tidak salah?
Sebenarnya lentera timur itu bukan identik dengan kiri ya. Tetapi lebih kepada masalah budaya. Soal Masyarakatnya kenapa meninggalkan masyarakatnya yang dulu. Itu yang diangkat, kalau Martin mengantarkan ke Lentera Timur karena temanya menarik. Kalau saya sendiri nggak ada urusan mau dibawa kemana. Silahkan saja, Lentera timur, barat, dan hitam nggak peduli. Bang Martin kenapa saya sangat dekat sekali, karena saya nongkrong di taman Ismail Marzuki, dan kebetulan sering lihat pementasan teater karya saya. Dan juga saya hadir juga di acara Meja Budaya yang digagas beliau. Yang paling penting kami sama-sama orang Tanjung Balai, nah itulah yang membuat kita ketemu. Ada tulisan coba abang baca, ya silahkan. Dan saya sangat jauh dari pikiran Kanan, Kiri.
Berapa cerpen yang sudah Anda buat?
Saya nggak itung, kayaknya lebih dari sepuluh. Kenapa nggak dipublish, karena memang untuk konsumsi pribadi. Tapi kalau ada buat film, berani berapa.
Anda puas hanya bikin tapi tidak dipublish?
Ya mungkin karena saya seniman kali ya. Tulisan itukan soal salah satu penyalur energi yang tercurahkan. Tulisan buat saya itu adalah untuk mengurangi isi kepala saya yang menumpuk. Setidaknya mengurangilah, biar nggak meledak kepala saya.
Tapi pernah disebar ke teman-teman?
Ya pastilah, saya kasih ke seniman-seniman di TIM. Dan itu banyak dicorat coret. Ini tulisan apa coba, dikoreksi terus. Itu saya kasih puluhan kali sampai akhirnya nggak dicoret lagi. Malah saya sampai disuruh baca buku SD, pelajari sintaksis karena di SD lebih oke. Saya ya baca, biar hasilnya memuaskan.
Biasanya berapa lama untuk menghasilkan karya?
Kan saya bilang tadi penuh pengendapan kan. Sebulan tulis, tinggal sebulan lagi. Pas dicek, sial kok ancur banget ternyata. Tulis ulang lagi, dibikin lebih menarik. Tapi benang merah nggak pernah berubahlah.
Tema semua cerpennya sama?
Ya arahnya ke soal humanisme aja sih, cuma nggak dibikin seragam. Ada soal cinta, dan itu semua saya berdasarkan pengalaman.
Sudah ada berapa koleksi buku Anda?
Kalau buku sudah terlalu banyak di rumah, belum sempet dibaca semua. Cuma menurut saya, apa yang saya baca itu mengikuti apa yang saya lihat dan rasakan. Semua tergantung kebutuhan.
Koleksi saya kebanyakan ideologi lebih menarik buat saya soal eksistensialisme.