Dalam rangka Hari Film Nasional tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kedutaan Besar RI untuk Kerajaan Belanda (KBRI Belanda), dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Leiden (PPI Leiden) berkolaborasi dalam mengadakan kegiatan Indonesian Film Festival 2017 pada tanggal 25 dan 30 Maret 2017 di kampus Universitas Leiden, Belanda. Suatu kehormatan bagi PPI Leiden menjadi tuan rumah perayaan Hari Film Nasional 2017 di Belanda, mengingat tema besar yang diusung tahun ini adalah “Merayakan Keberagaman Indonesia”. Penonton disajikan potret keberagaman Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan bahasa, melalui karya-karya sineas tanah air yang direpresentasikan dalam 4 (empat) film yang ditayangkan, yaitu “Aisyah – Biarkan Kami Bersaudara”, “Demi Ucok”, “Mirror Never Lies”, dan “Mencari Hilal”.
Kegiatan yang dihadiri lebih dari 100 orang pengunjung ini secara resmi dibuka oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Belanda, Prof. Bambang Hari Wibisono, pada tanggal 25 Maret 2017, bertempat di Gedung Lipsius, Universitas Leiden. Dalam sambutannya, Beliau menyampaikan sejarah Hari Film Nasional yang dirayakan setiap tanggal 30 Maret dan pentingnya perayaan ini bagi perkembangan film di tanah air.
Pengunjung yang menghadiri kegiatan ini sangat beragam, baik dari pelajar-pelajar Indonesia yang sedang mengikuti pendidikan di Belanda, masyarakat Indonesia yang tinggal di Belanda, peneliti-peneliti asing yang memiliki fokus terhadap perkembangan kawasan Asia, maupun juga masyarakat asing lainnya yang tertarik dengan perfilman Indonesia.
Baca Juga: Malam Puncak Festival Film Indonesia
Pemutaran film ini dibuka dengan film “Aisyah – Biarkan Kami Bersaudara”. Pemilihan film ini bukan tanpa alasan. Penyelenggara menilai pesan yang disampaikan dalam film ini sesuai dengan tema tahun ini karena melalui film garapan Herwin Novianto ini, penonton disuguhi kisah perjuangan Aisyah, seorang wanita Muslim berasal dari Jawa Barat yang menjadi guru di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Aisyah, yang diperankan oleh Laudya Cynthia Bella, awalnya harus menghadapi konflik dengan murid-murid dan warga sekitar yang beragama Katolik. Namun pada akhirnya kehadiran ibu guru Aisyah dapat diterima oleh murid-muridnya dan warga setempat bergotong-royong mengumpulkan dana untuk Aisyah agar dapat mudik ke kampung halamannya di Jawa Barat untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarganya.
Film berikutnya adalah film independen yang cukup fenomenal, “Demi Ucok”. Selama hampir 80 menit, penonton dibuat terpingkal-pingkal lewat percakapan antara Gloria dan Mak Gondut. Film ini mengisahkan bagaimana perjuangan Gloria, seorang wanita Batak, dalam menghadapi tuntutan menikah dari ibunya, Mak Gondut. Di sisi lain, Gloria mencoba mewujudkan cita-citanya sebagai sutradara film. Aksen khas Batak dari Mak Gondut, peraih Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik, nampaknya menjadi hiburan khusus bagi penonton film ini.
Kegiatan pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi bersama narasumber Aminuddin Siregar, kandidat doktoral di Universitas Leiden, yang juga seorang Kurator dan Dosen di Institut Teknologi Bandung. Setelah pemutaran film Aisyah – Biarkan Kami Bersaudara, mengenai banyaknya film-film yang memperlihatkan eksotisme Indonesia dan juga fenomena film yang mengusung tema tentang perjuangan guru di pelosok Indonesia. Terkait film Demi Ucok, pada sesi diskusi ada banyak penonton yang hadir merasa ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kebudayaan Batak sehingga memicu pertanyaan-pertanyaan lain, mulai dari rata-rata usia menikah di Indonesia, hingga pertanyaan yang spesifik mengenai apa itu pariban di kebudayaan Batak.
Pemutaran film selanjutnya yang dilakukan pada tanggal 30 Maret bertepatan dengan Hari Film Nasional. Pada pemutaran kedua ini dua film ditayangkan, yaitu “Mirror Never Lies” dan “Mencari Hilal”. Film “Mirror Never Lies” yang disutradarai oleh Kamila Andini, menceritakan bagaimana seorang gadis suku Bajau di Sulawesi Tenggara, mencari keberadaan ayahandanya yang hilang kala melaut. Film ini juga menghadirkan lanskap Wakatobi yang sangat indah. Sementara itu, “Mencari Hilal” adalah sebuah film yang bercerita tentang perjalanan seorang ayah yang relijius dan anak yang cukup sekuler dalam mencari penentuan Hilal sebelum masuknya hari raya Idul Fitri. Melalui film ini, Deddy Sutomo berhasil mendapatkan Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik.
Nazarudin, Ketua PPI Leiden, menyampaikan ada banyak penonton yang merasa senang penayangan film-film ini. “Munculnya film-film yang mengusung tema keberagaman ini merupakan suatu upaya yang positif dari para sineas untuk menggunakan film sebagai alat pemersatu dari keberagaman yang ada di Indonesia” ungkap Nazar dalam keterangan tertulis, Kamis (30/3/2017).
Selain itu, dia mengatakan Salah satu pesan yang bisa ia tangkap adalah film-film ini mengajarkan kepada penonton bagaimana mengenali perbedaan, menyikapi perbedaan, hingga menghargai perbedaan itu sendiri. "Karena perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan,” tutup Nazarudin.