Interview: Dimas Aditya Punya Ibu 'Aliran' NU, Ayah Muhammadiyah

Tomi Tresnady Suara.Com
Sabtu, 18 Maret 2017 | 12:43 WIB
Interview: Dimas Aditya Punya Ibu 'Aliran' NU, Ayah Muhammadiyah
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aktor Dimas Aditya merasa senang dibesarkan oleh orangtua yang punya paham Islam dengan sentuhan tradisi berbeda.

Ibunda Dimas, Inriani, menjalankan Islam dengan tradisi Nahdatul Ulama, sedangkan ayahnya, Benny Alimin, menjalankan Islam dengan tradisi Muhammadiyah.

Namun, suami Tika Bravani ini lebih condong mengikuti tradisi Islam yang dijalani sang ayah dengan alasan dirinya besar di Sumatera Barat.

Kondisi realita ternyata terbawa ke film yang mainkannya, Bid’ah Cinta, yang ia perankan bersama Ayushita. Di film tersebut, Dimas berperan sebagai Kamal jatuh cinta kepada Ayushita yang memainkan karakter Khalida.

Kedua insan yang tengah jatuh cinta itu harus dihadapkan oleh pertentangan keluarga yang memiliki paham berbeda menyikapi Islam tradisi. Ayah Kamal menerapkan Islam puritan, sedangkan ayah Khalida kental dengan nuansa Islam tradisional.

Film arahan sutradara Nurman Hakim ini tengah tayang di bioskop Tanah Air sejak tanggal 16 Maret 2017.

Nah, berikut ini petikan wawancara Dimas saat bintang berusia 32 tahun itu ketika berkesempatan mengunjungi kantor Suara.com, belum lama ini.

S: Ini film religi pertama bagi Dimas, kok akhirnya bisa bermain di film Bid’ah Cinta?

D: Film religi yang ditangkap dari suduh pandang gua ya, banyak film religi yang gue tonton lebih ke arah mainstream dan memang lebih ke arah industri, pada dasarnya kalau masalah agama hal yang sensitif di keluarga gue.

Gue milih main film agama pasti gue lebih picky (pilih-pilih). Gak kepikiran lah main di film berbau agama. Jadi akhirnya gue dikirim sinopsis dan lihat karakternya wah, ini sesuatu yang berbeda nih, belum tahu waktu itu dites untuk karakter apa.

Gue datang ke kantor dikasih tahu untuk perankan Kamal. Di karakter ini banyak yang menarik, ada beberapa karakter yang gue incer sebelum kamal ini, sebenernya di film ini base-nya semua peran utama. wah peran ini oke banget, akhirnya mereka ingin gue perankan Kamal, mungkin gue cocok di peran ini.

S: Ada gak kekhawatiran bermain di film ini karena mengulas perbedaan di Islam?

D: Ada awalnya, kita sesama pemain dan produser kita di film ini bukan cari pembenaran yang ini benar, golongan ini salah, kita kirim message perbedaan yang selama ini ada, kita itu ada di indonesia.

Nah, selalu bisa hidup berdampingan dengan adanya cinta. Nah, itu message-nya. Gak coba membesarkan yang ini benar, yang ini salah. Kita sisipin perbedaan yang ada itu cinta. Itu bikin kita hidup berdampingan loh.

S: Sempat mencari tahu dulu Islam tradisional seperti apa?

D: Makanya sebelum main film ini, gue disuruh research oleh mas Hakim. kalau tidak salah di Indonesia ini ada 72 aliran.

Gue pribadi gak coba tutup mata. Kalau kita bikin film sesuai dengan realita, gak masalah karena masyarakat tahu itu memang ada...gimana sih kalau…

Lucu ya, di film ini. Agama sama tapi pahamnya beda. hubungan gue retak sama Khalida karena perbedaan paham, keluarganya dari paham satu, dan gue paham yang lain.

Keluarganya yang bikin ini besar dan besar. Sebenarnya kalau keluarganya gak terlalu ini hubungan akan lancar. Tapi Kamal terpengaruh prinsip dari agamanya benar dan mereka pegang prinsip itu.

Khalida lebih rebel (memberontak) dibanding Kamal. dia lebih vokal di keluarganya. kalau kamal lebih menutup karakternya, memendam.

Gue coba research, ketemu orang-orang itu (Islam tradisional). gue dibilangin kalau gue ketemu orang itu, gue gak bakal bisa keluar dari orang itu, kan gue takut ya. Apa ini. 'wah, nanti lo bakal diikutin terus sama orang itu. 'Wah, maksudnya apa nih? hahaha. Serem sih dan itu terjadi...

Gue sih salut sama mas hakim, dia berani sekali. gue pernah juga ini melengkapi trilogi film gue, Khalifah, 3: Alif Lam Mim dan ini (Bid'ah Cinta).

S: Oya, apakah cerita di film dialami juga oleh keluarga Dimas?

D: Ini terjadi di keluarga gua, jadi kalau nyokap dia pahamnya NU dan kalau bokap tuh, Muhammadiyah. Itu terjadi di keluarga gue. tapi nyokap ikutin tradisi keluarganya, pake segala macam.

Kalau bokap lebih, ‘gua gak ada tradisi-tradisi kayak gitu tuh.’ Tetapi itu terjadi di keluarga gue.

Soal maulid juga, tahlilan. bokap gue bilang, kalau sampai ada ini (meninggal) jangan sampai ada tahlilan, bokap gue bilang gitu. Nyokap yang bertanya, ’kenapa sih, kenapa sih.’

S Dimas menyikapi sebagai anak gimana?

D: Gue mencoba netral, tapi gue lebih ke bokap karena gue besar di Sumatera kan.

S: Dimas sendiri merasa menjadi seorang religius gak sih?

D: Gue sebenarnya bukan seorang religius, bokap gue yang seorang religius, nyokap gue juga religius dengan caranya dia.

Justru di film ini gue harus mencari tahu apa sih religius itu? yang bener apa sih, yang religius itu? itu yang menarik saat pertama kali gue ambil film ini. Awalnya sesuatu yang gue takutin, ternyata gue harus perankan seperti itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI