Suara.com - Sutradara Hanung Bramantyo menegaskan film di Indonesia bukan industri seperti halnya dunia perfilman di Amerika Serikat.
"Di sini tidak ada industri film seperti di Amerika karena hampir semua film di Indonesia sesungguhnya adalah film independen," katanya di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/11/2014).
Dalam Pekan Film Airlangga yang digelar UKM Sinematrografi Unair di Gedung Cak Durasim Surabaya, ia menjelaskan dunia perfilman sudah menjadi industri karena ada agen yang menangani.
"Film di Amerika sudah ada sistem karena semua jalur mulai pembuatan film hingga distribusi harus melalui agen," katanya pada tayang-bincang dalam rangka Pekan Film Airlangga.
Dalam diskusi yang dipandu dosen Komunikasi Unair IGAK Satrya Wibawa, ia mengatakan pembuat film di Indonesia bisa langsung meminta artis tanpa melalui agen untuk membintangi filmnya.
"Atau, mereka bisa langsung meminta kepada manajemen jaringan bioskop untuk menayangkan filmnya, juga tanpa perantara agen. Sutradara film besar juga tidak ada bedanya dengan pembuat film pendek," kata dia.
Ibarat jualan kucing dalam karung, katanya, sutradara itu ibarat jualan ide yang tidak jelas akan disukai atau tidak oleh pasar. "Makanya pembuat film harus pintar meyakinkan orang," tegasnya.
Oleh karena itu, omong kosong kalau film independen tidak membutuhkan pasar. Pembuat film independen pun sebenarnya mencari pasar yang bisa menerima ide mereka.
"Film independen sebenarnya merupakan cara untuk melawan sistem jaringan bioskop yang menilai film Indonesia itu tidak laku. Juga, sistem pemerintahan Orde Baru yang mengekang kreativitas sutradara muda," katanya.
Buktinya, film Indonesia belum mati, karena film Indonesia juga punya penggemar. Kasus di Indonesia dimulai dari film Kuldesak buatan empat sutradara muda Indonesia, yakni Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani.