Kisah Tiga Perempuan Indonesia Dalam Monolog

Esti Utami Suara.Com
Sabtu, 11 Oktober 2014 | 20:46 WIB
Kisah Tiga Perempuan Indonesia Dalam Monolog
Fragmen Bumi Manusia dalam "Monolog 3 Perempuan" (Dok. Galeri Indonesia Kaya)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Merayakan ulang tahun pertama Galeri Indonesia Kaya, kembali dipentaskan "Monolog 3 Perempuan". Pertunjukan selama satu setengah jam ini membawa penonton untuk melihat beragam konflik yang dihadapi para perempuan Indonesia yang hidup di tiga zaman yang berbeda yang diangkat tiga karya sastra Indonesia.

Karya sastra tersebut adalah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Ketiganya mengangkat perempuan sebagai tokoh sentral yang membangun cerita. Dalam karya sastra tersebut, dikisahkan bagaimana para tokoh perempuan ini harus mengalami peristiwa yang hanya mungkin dialami oleh perempuan.

Fragmen-fragmen tersebut menjalin sebuah cerita tentang pemaknaan identitas menjadi perempuan melalui karya sastra. Menariknya, "Monolog 3 Perempuan" kali ini, mengambil  sudut pandang yang berbeda. Tokoh yang diangkat bukanlah tokoh utama, dan masih jarang digali dan dikisahkan.

Fragmen Bumi Manusia, misalnya mengangkat  Anneliesse, putri Nyai Ontosoroh yang harus menerima kenyataan dipisahkan dari Minke, cinta pertama dan hidupnya berakhir mengenaskan jauh dari keluarganya. Annelies diperankan Olga Lydia

Fragmen Ronggeng Dukuh Paruk, juga tak mengangkat Srintil, tetapi justru sosok antagonis, Nyai Kertareja (diperankan Pipien Putri), perempuan gila harta yang menjadi ‘induk semang’ bagi Srintil, ronggeng yang menjadi tokoh utama novel ini.  Fragmen terakhir mengetengahkan Nayla yang merupakan korban kekerasan seksual yang dialami sejak dini di rumahnya sendiri yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.

“Pertunjukan monolog ini membawa penonton pada 3 kisah perempuan yang berada dalam ruang dan zaman yang berbeda, namun menghadapi permasalahan yang mengikat mereka satu sama lain dan menunjukkan refleksi wajah Indonesia," ujar Happy Salma, yang memroduseri pertunjukan ini.

Ia menambahkan pertunjukan yang ditafsir dari karya sastra Indonesia ini merupakan kado dari Titimangsa  untuk ulang tahun Galeri Indonesia Kaya.

Sedangkan Agus Noor, sang sutradara mengatakan lewat pertunjukan ini ia ingin mengajak penikmat seni menyelami apa dan bagaimana sesungguhnya menjadi perempuan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI