Perempuan Indonesia Berbagi Kisah

Esti Utami Suara.Com
Senin, 21 April 2014 | 15:57 WIB
Perempuan Indonesia Berbagi Kisah
Bunda Ifet di monolog "Aku Adalah Perempuan" di Galeri Indonesia Kaya, Minggu (20/4/2014). (Foto: Dok. Galeri Indonesia Kaya)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Renitasari Adrian, yang selama ini lebih dikenal sebagai Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Minggu (20/4/2014) sore itu tak seperti biasanya sekedar menyampaikan sambutan sebelum sebuah pementasan. Mengenakan gaun hitam, sore itu, Renita berperan sebagai awak panggung, menarasikan kisahnya sendiri dalam monolog "Aku Adalah Perempuan" yang diproduseri Happy Salma.

“Ini pertama kalinya saya tampil di atas panggung dan menarasikan kisah saya sendiri di hadapan banyak orang. Meskipun durasi yang diberikan tidak terlalu panjang namun menjadi suatu tantangan tersendiri bagi saya. Saya salut dengan para seniman yang bisa menghapalkan naskah berlembar-lembar dan tampil dengan durasi panjang,” ujarnya.

Pentas monolog ini melibatkan delapan perempuan dari berbagai latar belakang. Ada Jais Darga (art dealer), Tience Sumartini (pilot), Renitasari Adrian (program direktur), Ina Febriana Sari (atlet taekwondo), Ati Sriati (penyanyi), Eka Siwi (office girl), Bunda Iffet (manager) dan Happy Salma sendiri.

Mereka tampil satu panggung di panggung auditorium Galeri Indonesia Kaya membawakan naskah yang ditulis Ahda Imran.
Melalui monolog, para perempuan ini mengemukakan apa dan bagaimana sesungguhnya menjadi perempuan, bagaimana memaknai karir di ruang publik, bagaimana memaknai tubuhnya sebagai seorang ibu, dan bagaimana memaknai kehadiran lelaki yang menjadi pasangannya.

Maka lahirlah kisah biografi tubuh, pikiran, dan perenungannya sebagai perempuan di ruang domestik dengan berbagai konflik menjadi benang merah dan inti dari pertunjukan ini.

“Pertunjukan monolog ini membawa penonton pada berbagai permasalahan perempuan yang tetap aktual hingga kini, seperti ketertindasan, perlawanan, dan pergulatannya menjadi Aku yang dibentuk dan dipengaruhi oleh realitas sosial-budayanya. Penonton juga akan diajak meresapi kegelisahan kaum perempuan sebagai sebuah kontemplasi ke dalam diri, bahwa seseorang tidaklah lahir sebagai perempuan tapi terpilih sebagai perempuan,” ujar Happy Salma.

Selama 1,5 jam, para perempuan ini membawa penonton untuk melihat beragam konflik dari sudut pandang delapan perempuan, dengan diiringi Kerontjong Poetrie. Para perempuan yang terlibat dalam monolog ini dipilih langsung oleh Happy Salma dan Wawan Sofwan sebagai sutradara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI