“Ketika orang berkata: Simon, berhenti bermimpi, itu harapan palsu’, saya mengangkat bahu. Kami berjuang untuk sesuatu dan kami akan terus melakukannya,” lanjutnya.
(https://www.ad.nl/binnenland/simon-tahamata-zoveel-onwetendheid-over-de-molukse-zaak~a694a7a5/)
Simon Tahamata sendiri mendukung gerakan RMS karena semasa kecil, dirinya merasakan hidup di pengasingan bersama masyrakat Maluku lainnya yang berada di Belanda.
Eks pemain Feyenoord ini harus tinggal di Belanda dalam pengasingan karena sang ayah dulunya adalah prajurit KNIL atau prajurit Kerajaan Hindia Belanda di Indonesia.
Saat ayah dan ibunya pindah ke Belanda, Simon Tahamata mengaku bahwa keluarganya selalu memikirkan Maluku Selatan kendati sudah hijrah ke Negeri Kincir Angin.
“Ayah saya Lambert adalah seorang prajurit Knil. Pria yang sangat ketat. Ibu saya adalah wanita yang sangat manis. Kekuatan pendorong keluarga. Kami adalah 12 anak di rumah,” kata Simon Tahamata.
“Perang di Hindia Belanda, penyebab rakyat Maluku, tidak banyak dibicarakan. Orang tua saya sibuk membangun kehidupan baru di Belanda. Tetapi pikiran mereka mereka berada di Maluku Selatan,” imbuhnya.
Terlepas dari pandangannya terhadap gerakan RMS yang menjadi gerakan separatis di Indonesia ini, Simon Tahamata punya karier cemerlang di lapangan hijau.
Usai menimba ilmu di akademi Ajax Amsterdam, pria yang dulunya berposisi sebagai winger ini mampu menembus tim utama.
Baca Juga: Manajer Timnas Indonesia: Patrick Kluivert yang Minta Ole Romeny
Setelahnya ia sempat bermain di Feyenoord dan juga berkarier di Belgia bersama Standard Liege, Beerschot, hingga Germinal Ekeren.