Sepak Bola Jepang: Dirintis Sejak 128 Tahun Lalu hingga Ditopang Lotere

Galih Prasetyo Suara.Com
Rabu, 30 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Sepak Bola Jepang: Dirintis Sejak 128 Tahun Lalu hingga Ditopang Lotere
Ilustrasi sepak bola Jepang [Ist]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Timnas Indonesia akan menghadapi laga berat di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada 15 November 2024 dalam lanjutan babak Kualifikasi Piala Dunia 2026. Jepang menjadi lawan berat untuk pasukan Shin Tae-yong.

Jepang di grup C babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 jadi tim yang belum terkalahkan. Tim Samurai Biru ini memang jadi raksasa sepak bola Asia dalam beberapa tahun ke belakang.

Bicara sepak bola Jepang, banyak yang bilang bahwa negara itu di era 70-an belajar dari sepak bola Indonesia. Hal itu didasari karena kedatangan delegasi PSSI-nya Jepang memantau Galatama.

Namun faktanya, Jepang membangun sepak bola mereka sejak 128 tahun lalu. Penelitian dari John Horne dan Derek Bleakley yang berjudul 'The Development of Football in Japan' menjelaskan bagaimana perkembangan Jepang dari era Restorasi Meiji hingga era 2000-an.

Baca Juga: Daftar Peraih AFC Annual Awards 2023: PSSI dan Timnas Indonesia Tanpa Penghargaan!

Striker timnas Jepang, Keito Nakamura mengontrol bola selama pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia antara Jepang vs Australia di Stadion Saitama di Saitama pada tanggal 15 Oktober 2024.Philip FONG / AFP.
Striker timnas Jepang, Keito Nakamura mengontrol bola selama pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia antara Jepang vs Australia di Stadion Saitama di Saitama pada tanggal 15 Oktober 2024.Philip FONG / AFP.

Penelitian ini dipublikasikan di Japan, Korea and the 2002 World Cup. Dalam penelitian itu terungkap bagaimana sepak bola pertama kali muncul di Jepang.

Sepak bola mulai dimainkan orang Jepang 148 tahun lalu tepatnya di bulan September 1873. Sepak bola dibawa ke Jepang oleh Letnan Komandan Archibald L. Douglas dari Angkatan Laut Inggris.

Saat itu Archibald L bersama 30 anggotanya bermain sepak bola dengan warga lokal. Mereka mengajarkan elemen-elemen penting di pertandingan sepak bola ke orang Jepang.

Menariknya, dari penelitian John Horne dan Derek Bleakley terungkap bahwa tidak hanya warga lokal yang keranjingan dengan sepak bola. Para tentara angkatan laut Inggris itu juga mengajarkan sejumlah anak-anak sekolah di distrik Tsukiji, Tokyo untuk main sepak bola.

Saat pecah Restorasi Meiji pada 1868, muncul penolakan dari warga Jepang dengan budaya barat, tak terkecuali pada sepak bola. Di tahun-tahun ini, sepak bola jarang dimainkan oleh orang Jepang.

Baca Juga: Serang Timnas Indonesia U-17, Ada Dendam India 62 Tahun Lalu

Pada 1888 tercatat pertandingan sepak bola pertama di Jepang yang mempertemukan dua tim kota pelabuhan yakni Kobe Regatta and Athletic Club (KRAC) vs Yokohama Country and Athletic Club (YCAC).

Ada satu fakta menarik mengenai klub KRAC yakni klub Jepang ini didirikan oleh seorang ahli kimia asal Skotlandia, Alexander Sim pada 1870, yakni tahun ketiga setelah kota-kota pelabutan di Jepang menerima kedatangan orang asing.

Di tahun-tahun 1888, sepak bola belum menjadi hal penting di sistem pendidikan Jepang. Baru pada 1896, sepak bola resmi diperkenalkan sebagai pendidikan di Institut Pelatihan Guru Tinggi Tokyo.

Para lulusan sekolah ini kemudian mulai mengajar sepak boal di sekolah menengah dan tinggi seluruh Jepang. Lalu pada 1911, Asosiasi Olahraga Amatir Jepang atau JASA dibentuk. JASA menjadi payung besar untuk Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) yang terafiliasi pada 1925.

Menariknya pada 1920, di Jepang para guru pendidikan Jasmani mulai diperkenalkan istilah 'a-shiki shky' atau dalam bahasa Indonesia berarti asosiasi sepak bola.

Di tahun-tahun ini para guru diminta untuk membatasi pertandingan sepak bola hanya boleh dimainkan oleh anak-anak di atas usia 15 tahun. Alasannya bisa dianggap membahayakan kesehatan anak.

Pemain Timnas Jepang Takefusa Kubo (AFP)
Pemain Timnas Jepang Takefusa Kubo (AFP)

Di era 1920 sampai 1940, muncul turnamen-turnamen sepak bola antara sekolah di seluruh Jepang. Dari kompetisi antar wilayah, kemudian menjadi turnamen nasional---seperti Piala Soeratin di Indonesia.

Pada era yang sama, tim sepak bola juga berkembang di tingkat universitas. Kompetisi sepak bola antar kampus pun jadi trend dan menjadi tempat pencarian bibit muda sepak bola Jepang.

Bahkan perkembangan turnamen sepak bola antar kampus di Jepang membuat tim dari negara tetangga Korsel ikut berpartisipasi. Pada 1935, tim bernama Hansong atau yang dikenal All Keijo menjadi tim sepak bola Korsel yang ikut bermain di Jepang.

Kehadiran tim Korea itu rupanya memicu perdebatan di Jepang. Uniknya, saat tim nasional Jepang lolos ke Olimpiade 1936 di Berlin, dua pemain dari Korea memperkuat tim Samurai Biru itu.

Salah satu pemain itu ialah Kim Yong-sik. Pemain kelahiran Seoul ini membela Jepang di 3 laga dan mencetak 1 gol.

Di Olimpiade 1936 Berlin, Jepang sempat jadi sensasi karena sukses mengalahkan wakil Eropa Swedia dengan skor 3-2. Bagi orang Jepang, momen ini mereka kenal dengan sebutan, 'Keajaiban Berlin'.

Sepak Bola Jepang Pasca Perang Pasifik

Pasca perang Pasifik 1945, sepak bola di Jepang sempat diupayakan untuk dilarang oleh pemerintah. Cap sebagai budaya barat jadi alasannya.

Pemerintah dan militer Jepang menginginkan para pemuda giat berlatih olahraga beladiri. Baru pada 1950, sepak bola Jepang kembal bergeliat.

Sejumlah turnamen level nasional pun mulai diadakan, salah satu Piala Kaisar. Namun menurut hasil penelitian John Horne dan Derek Bleakley, selama 40 tahun kemudian sepak bola di Jepang masih bersifat amatir.

Bek Jepang Hiroki Sekine dan gelandang Irak Karrar Mohammed Ali bersaing untuk mendapatkan sundulan saat pertandingan semifinal Piala Asia U23 2024 antara Jepang melawan Irak di Stadion Jassim Bin Hamad, Doha, Qatar, Senin (29/4/2024). [Karim JAAFAR / AFP]
Bek Jepang Hiroki Sekine dan gelandang Irak Karrar Mohammed Ali bersaing untuk mendapatkan sundulan saat pertandingan semifinal Piala Asia U23 2024 antara Jepang melawan Irak di Stadion Jassim Bin Hamad, Doha, Qatar, Senin (29/4/2024). [Karim JAAFAR / AFP]

Baru setelah perusahaan-perusahaan jadi penyokong, sepak bola Jepang lambat laun mencoba untuk jadi semiprofesional.

Pada 1954, Tokyo Kogyo menjadi tim sepak bola perusahaan pertama yang berdiri di Jepang. 4 tahun kemudian berdiri Yawata Steel. Tahun 1960, Furukawa Electric jadi tim perusahaan pertama yang meraih trofi Piala Kaisar.

Saat Indonesia diguncang dengan huru hara 1965, di Jepang mulai diadakan Liga Sepak Bola Jepang atau JSL. Liga ini mempertemukan tim-tim dari perusahaan.

JSL mulai menarik perhatian publik Jepang pada sepak bola. Data pada 1968 menunjukan pertandingan JSL rata-rata ditonton 7.491 penonton per pertandingan. Angka ini tinggi karena di tahun yang sama Jepang sukses meraih medali perunggu di Olimpiade Meksiko.

Namun saat itu Jepang belum sangat populer, apalagi sejumlah media Jepang masih memandang sebelah mata olahraga ini. Laporan Japan Times yang publish 6 November 2001 menyebutkan JSL bisa diangga kompetisi sukses.

Hal ini lantaran selama 27 musim berlangsung JSL menarik minat sebanyak 9.739.110 penonton, rata-rata 3.972 per pertandingan.

Memasuki era 1980-an, sepak bola Jepang lebih hidup setelah AFC menghidupkan kompetisi antar klub Asia, yang mulai berlangsung 1967, namun sempat disuntik mati pada 1972 dan 1984.

Di kompetisi Liga Champions Asia ini, tim Jepang pertama kali meraih gelar melalui klub Furukawa Electric--cikal bakal klub JEF Ichihara yang saat ini main di J-League.

Titik balik perubahan sepak bola Jepang ke arah lebih maju sebenarnya terjadi pasca 26 Oktober 1985. Di tanggal itu, Jepang dikalahkan oleh Korsel di kualifikasi Piala Dunia 1986.

PSSI-nya Jepang, JFA saat itu langsung ambil langkah cepat dengan mencoba membuat olahraga ini jadi lebih profesional.

Salah satu langkah yang diambil ialah penerapan lisensi profesional untuk pemain yang ingin main di Liga Jepang. Sebelumnya, tim di JSL diberi kebebasan untuk memainkan pemain meski bukan pemain profesional.

Hidetoshi Nakata. (Shutterstock)
Hidetoshi Nakata. (Shutterstock)

Selain itu klub-klub di Liga Jepang pada 1987 diberi kebebasan untuk menerapkan kontrak profesional kepada setiap pemain.

Langkah ini terbukti ampuh meningkatkan kualitas sepak bola Jepang. Bagi orang Jepang, sepak bola mereka maju berkat tangan dingin pengurus JFA di era 80-an seperti Naganuma Ken, Murata Tadao, Okano Shunichir dan Kawabuchi Sabur.

Mereka ini juga yang jadi penggagas berdirinya J League, yang mana menjadi salah satu dari tiga proyek besar JFA untuk memajukan sepak bola Jepang. Menariknya target utama mereka di era 80-an ialah bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia dan itu terjadi pada 2002.

Sejak dimulainya J-League pada Mei 1993, kucuran dana dan publisitas menjadi kunci. Beberapa pengamat Jepang memprediksi, J-League di awal kemunculannya mendapat kucuran dana mencapai 20 miliar euro.

Meski kemudian pada perkembangannya, J League sempat tidak diminati oleh orang Jepang yang kadung jatuh cinta pada olahrag baseball.

Antara tahun 1993 dan awal musim J.League 2001, 29.649.817 penonton telah menghadiri 2.106 pertandingan dengan rata-rata 14.079 per pertandingan.

Menariknya, salah satu yang membuat sepak bola menarik perhatian orang Jepang ialah dengan peluncuran judi bola atau lotere Toto. Lotere Toto ini pertama kali diujicobakan di prefektur Shizuoka pada 2000 lalu mulai diperkenalkan ke seluruh Jepang padan Maret 2001.

Kemunculan lotere Toto untuk mempopulerkan sepak bola di Jepang juga jadi perdebatan panjang, apalagi dari segi konsekuensi sosial.

Menariknya, lotere Toto yang didasarkan pada skema perjudian negara-negara lain itu kemudian dikelola oleh Kementerian Pendidikan (Monbu Kagakush) bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Sekolah Jepang.

Pada minggu kedua belas, penjualan Toto mencapai 3,87 miliar yen dan merupakan kesuksesan besar.

Namun pada bulan Juni 2001 terungkap bahwa Komite Penyelenggara Piala Dunia Jepang (JAWOC) telah meminta 3 miliar yen dan itu menimbulkan protes dari organisasi olahraga lain, termasuk Komite Olimpiade Jepang (JOC).

Pasalnya slogan lotere baru, “untuk semua olahraga di Jepang”, menghiasi hampir semua publisitasnya. Diperkirakan pihak yang mengelola lotere Toto ini meraup pendapatan 80 miliar yen dan keuntungan bersih 16,5 miliar yen pada tahun pertama.

Pihak lotere Toto sempat mengklaim bahwa mereka menggelontorkan 60,7 miliar yen untuk biaya penyelenggaraan Piala Dunia 2002.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI