Sejarah Bakarbessy, Marga Kevin Diks Ternyata Bukan Sembarangan

Baehaqi Almutoif Suara.Com
Sabtu, 12 Oktober 2024 | 16:57 WIB
Sejarah Bakarbessy, Marga Kevin Diks Ternyata Bukan Sembarangan
Pemain keturunan Indonesia, Kevin Diks Bakarbessy (KDB) berpotensi segera membela Timnas Indonesia. [Dok. Instagram/@kevindiks2]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bek FC Copenhagen, Kevin Diks santer dikabarkan segera dinaturalisasi. Beredar video pemain 27 tahun tersebut tiba di Jakarta.

Ketua Umum PSSI Erick Thohir pun terlihat sudah bersalaman dengan Kevin Diks. Hal itu terungkap di unggahan akun Instagram-nya. Menteri BUMN itu juga menuliskan, "Selamat Bergabung di Timnas Indonesia".   

Kevin Diks memiliki darah Indonesia dari sang ibu yang berasal dari Maluku. Nama belakangnya Bakarbessy, fam atau marga dari Maluku Tengah.

Ibu Kevin Diks bernama Natasja Diks-Bakarbessy. Marga tersebut juga melekat pada eks pemain Fiorentina tersebut.

Baca Juga: Reaksi Kevin Diks usai Resmi Diumumkan Erick Thohir Gabung Timnas Indonesia

Jika ditilik asal usulnya, marga Bakarbessy berasal dari Negeri Waai di Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah.

Sejarah Marga Bakarbessy

Sejarah panjang Negeri Waai tidak lepas dari marga Bakarbessy. Termasuk soal legenda dan mitos yang berkaitan dengan asal usul wilayah tersebut.

Berdasarkan sejumlah sumber, beberapa cerita rakyat menghubungkan marga ini dengan kemunculan warga Negeri Waai.

Melansir dari Sejarah Negeri Waai dan Lumatau karya Maria Palijama dan Seleky dari Pusat Studi Maluku Universitas Pattimura Ambon 2012 disebutkan warga Waai tak lepas dari Gunung Salahutu.

Baca Juga: Cagub Maluku Utara Dikabarkan Meninggal Dunia, KPU Jelaskan Aturan Calon Pengganti

Cerita para leluhur, orang daerah ini berasal dari Seram dan juga dari Jawa (Tuban). Leluhur pertama orang Waai berasal dari Seram kemudian tiba di pesisir timur Pulau Ambon dan mendaki gunung Salahutu yang pada waktu itu tidak berpenduduk dan membentuk pusat-pusat pemukiman.

Singkat cerita, pada abad ke-17 datanglah orang-orang Belanda. Mereka salah satunya membawa misi zending atau kristenisasi. Seorang pendeta Belanda dari negeri Rumahtiga yang bernama Pendeta Hoeden Horen (informasi lain mengatakan: pendeta van Horen) bersama dua orang pembantunya menjalankan tugas mereka menyebarkan Injil dan mereka menuju pegunungan Salahutu.

Dia tinggal lama di perkampungan yang ada di pegunungan tersebut. Pendeta van Horen kemudian mengajak penghuni di negeri tersebut untuk turun dan berdiam di tepi pantai, karena di sanalah semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi.

Mereka pun akhirnya bermusyawarah di negeri Nani untuk turun ke pantai. Salah satu yang dibahas, yakni pencarian tempat pemukiman.

Upaya turun gunung selalu gagal karena beberapa faktor, salah satunya banjir. Hingga akhirnya Johanis Tuhalauruw yang menggantikan Sultan Nuhurela. Ia mengambil tombak pusakanya serta sebuah kiming (kelopak kering bunga kelapa) lalu dilemparkan dan tertancap di sebuah daratan yang agak berbukit karang.

Mereka lalu merancang untuk turun ke pantai. Hasil musyawarah raja kampung negeri Nani ditentukan menjadi pemimpin mereka di negeri yang baru, yakni moyang Barnadus Reawaruw.

Negeri baru tersebut lantas diberi nama Waai, yang artinya negeri yang diapit oleh sungai-sungai besar yang bersumber dari gunung Salahutu.

Sementara itu, di wilayah pantai telah terdapat 4 keluarga, yakni Matapere, Bakarbessy, Lumasina, dan Tahitu.

Lalu saat tiba di pantai, rombongan Barnadus memilih Matapere menjadi raja yang memimpin mereka. Akan tetapi Matapere enggan menghadap Belanda. Sebagai gantinya Bakarbessy. Dari situlah kepemimpinan berpindah ke Bakarbessy yang diangkat menjadi raja.

Keluarga Bakarbessy kemudian memimpin Negeri Waai. Keturunan mereka sampai sekarang juga masih didapuk menjadi raja setempat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI