Suara.com - Dua tahun lalu atau 1 Oktober 2022, sepak bola Indonesia dihantam tragedi memilukan usai laga Derbi Jatim antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
Laga yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan yang berjalan aman lancar, berubah menjadi kerusuhan usai peluit tanda berakhirnya laga dibunyikan wasit.
Suporter tuan rumah yang turun ke lapangan untuk menyemangati para pemain Arema FC usai kalah 2-3 direspon berbeda oleh petugas pengamanan.
Petugas keamanan di lapangan menyemprotkan gas air mata yang disebut-sebut menjadi biang kerok tragedi memilukan itu terjadi.
135 orang tewas dalam kejadian memilukan tersebut. Sebagian besar karena kehabisan oksigen dan trauma fisik akibat terhimpit. Selain itu, ratusan lainnya mengalami luka-luka, baik fisik maupun psikologis.
Dua hari setelah tragedi Kanjuruhan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menduga terdapat pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian maupun TNI dalam tragedi Kanjuruhan. Sedikit-dikitnya, hal itu terekam saat aparat menendang dan memukuli Aremania yang sedang berjalan.
Enam orang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno, eks Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, eks Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Kepala Bagian (Kabag) Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita.
Abdul Haris divonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menghendaki hukuman penjara 6 tahun 8 bulan. Sementara, Suko Sutrisno divonis 1 tahun penjara. Awalnya, Suko dituntut 6 tahun 8 bulan.
Baca Juga: Omongan Ridwan Kamil Soal Tragedi Kanjuruhan Tuai Kemarahan di X: Tidak Bisa Lebih Rendah Lagi...
AKP Hasdarmawan yang divonis penjara 1 tahun 6 bulan. Sedangkan Kompol Wahyu Setyo divonis 2,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA).
Terakhir, Bambang Sidik divonis ringan MA 2 tahun penjara. Keduanya awalnya divonis bebas di tingkat pengadilan negeri.
Keadilan Masih Buram
Namun dua tahun pasca tragedi itu pecah, keluarga korban terus memperjuangkan keadilan. Banyak yang merasa bahwa penegakan keadilan masih jauh dari memadai.
Seruan 'Menolak Lupa' bahkan digaungkan ribuan pengguna media sosial sebagai bentuk perlawanan atas tragedi Kanjuruhan.
Ketua Yayasan Keadilan tragedi Kanjuruhan Devi Atok mendesak agar proses hukum tragedi Kanjuruhan harus kembali berjalan.
Apalagi laporan model B yang sudah mereka serahkan ke Bareskrim Polri bisa dilanjutkan ke pengadilan. Sehingga para pelaku bisa dihukum dengan adil atas perbuatannya.
"Semoga, semua korban tragedi Kanjuruhan mendapat keadilan," harapnya.
Devi Athok ayah dari dua korban meninggal Tragedi Kanjuruhan NDR (16) dan NDB (13). Trauma hilangnya nyawa dua anaknya tercinta masih membekas.
Dia menegaskan jika penyebab dua putrinya meninggal karena disebabkan gas air mata. Bukan karena berdesakan apalagi diinjak-injak.
"Saya ikut memandikan dua jenazah putri sama kakak dan ibu saya, dari ujung rambut sama kuku tidak ada luka lebam sekalipun. Saya demi Allah. Busa terus keluar dari mulut, dan keluar bau amonia," imbuhnya.
Sekretaris Jenderal Federasi Komite untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Andy Irfan Junaedi, juga mendorong Komnas HAM menyelidiki kasus tragedi tersebut dalam perkara pelanggaran HAM berat.
KontraS sendiri telah menemukan unsur kejahatan HAM, meliputi tembakan gas air mata yang dilakukan secara sistematis sesuai komando yang menimbulkan korban jiwa dalam skala luas.
"Terpenuhi unsur ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Sayang Komnas HAM belum menurunkan tim khusus untuk penyelidikan," tegasnya.