Suara.com - Dunia sepak bola seolah punya dunia sendiri. Katanya sepak bola tak boleh dicampuri dengan urusan politik. Sepak bola dikampanyekan harus terbebas dari nilai-nilai politis.
Padahal faktanya sepak bola kerap dijadikan alat politik bahkan jadi korban politik. Meski begitu sangat sedikit pesepak bola yang melek politik dan berani menyuarakan suara-suara akar rumput.
Socrates jadi salah satu pesepak bola yang sadar politik. Bisa dibilang ia adalah penentang diktator dari lapangan hijau.
Memiliki nama seperti filsuf Yunani, Socrates berasal dari keluarga menengah di Brasil. Ayah Socrates bekerja sebagai pengawas keuangan pemerintah negara bagian Igarapé-Acu.
Baca Juga: Idap Kanker Stadium Akhir, Sven-Goran Eriksson: Hidup Adalah Kematian
Di wilayah itu, ayah Socrates, Raimundo dianggap bak pahlawan oleh masyarakat lokal. Status keluarga Socrates tidak sembarangan. Maka tak heran jika kemudian Socrates bisa mengenyam pendidikan di sekolah mentereng.
Socrates tercatat pernah menimba ilmu pendidikan di sekolah terbaik Ribeirão Preto, Colégio Marista. Dalam biografi miliknya yang ditulis oleh jurnalis Tom Cardoso, di rumahnya, ayah Socrates juga membuat perpustakaan kecil.
Di perpustakaan itu berisi buku-buku filsafat dan karya-karya lainnya. Saat pecah kudeta politik di Brasil pada 1964, Socrates mengaku melihat ayahya harus menyingkirkan koleksi buku-buku itu.
"Pada era itu, saya melihat ayah saya merobek buku karan pecah kudeta politik. Saya pikir itu tidak masuk akal karena perpustakaan adalah hal yang paling saya sukai. Saat itu saya merasa ada yang tidak beres, namun saya baru sadar setelah duduk di bangku kuliah," kata Socrates seperti dilansir dari Common Goal.
Socrates diketahui menempuh pendidikan hingga tingkat universitas dan mengambil jurusan kedokteran. Ia jadi sedikit pesepak bola yang memiliki gelar dokter. Bahkan setelah pensiun jadi pemain. Socrates sempat buka praktik di Ribeiro Preto.
Socrates Dokter dan Revolusioner Lapangan Hijau
Pada laga pembuka Brasil di Piala Dunia 1986, satu pemain tampak kenakan ikat kepala yang bertuliskan 'Meksiko Bangkit Bangkit'. Aksi si pemain itu kemudian jadi sorotan.
Pemain itu tak lain ialah Socrates. Pesan di ikat kepala itu ditujukan Socrates untuk negara Meksiko yang kala itu diguncang gempa bumi dahsyat.
Itu bukan sekedar pesan solidaritas atau mencari sensasi. Bagi Socrates panggung sepak bola merupak media paling tepat untuk menyuarakan apapun termasuk masalah hak asasi manusia, hingga bentuk perlawanan pada penguasa.
Di laga-laga berikutnya, Socrates kemudian dikenal dengan ikat kepala yang berisikan pesan sosial. Mulai dari, 'Ya untuk Cinta, Tidak untuk Teror' Pesan ini ia tujukan kepada negara Amerika Serikat.
Lalu ada pesan 'Tidak ada Kekerasan' dan 'Keadilan' yang ia tujukan untuk pemerintah diktator militer Brasil saat itu.
"Itu adalah cara untuk kita bersuara dan saya harus memanfaatkan kesempatan itu bukan," kata Socrates seperti dilansir dari El Pais.
Sikap politik terus konsisten dilakukan Socrates sepanjang kariernya di lapangan hijau. Ia pernah mengatakan bahwa di Eropa, mungkin semua bisa dibungkam oleh penguasa tapi tidak untuk mereka yang tingal di Brasil dan negara dunia ketiga.
Dekadae 1980-an, pilihan politik Socrates makin terlihat. Ia berada di barisan kaum tertindas. Socrates kemudian sempat memimpin gerakan bernama Corinthians Democracy.
Gerakan ini diinisiasi oleh para pemain Corinthias dan suporter agar manajemen klub tidak berperilaku korup serta memberikan hak untuk pemain bisa bersuara.
Di bawah komadonya, para pemain, pelatih, fisiotherapis hingga semua orang di dalam klub mampu mendesak manajemen untuk membuat aturan lebih manusiawi.
Tak hanya di level klub, ia juga dengan lantang menentang pemerintah diktator militer Brasil. Ia kemudian memperkenalkan konsep demokrasid dan kebebasan untuk kaum muda Brasil untuk melawan penindasan.
"Bermain sepak bola adalah tindakan politik dan para pesepak bola Brasil tahu itu," kata Socrates saat disindir mencampuri sepak bola dengan urusan politik.
"Mereka (pesepak bola) memiliki kekuatan politik di tangan merekka. Mereka punya panggung dan barisan massa. Jika itu politisi pasti akan dimanfaatkan namun sebaliknya kami para pesepak bola harus menerima hidup dalam kemiskinan," ujar pemain Santos itu.
Socrates tak hanya pandai beretorika, ia juga berani turun ke jalan untuk bersama-sama melakukan aksi unjuk rasa bersama massa rakyat.
Seperti yang ia lakukan pada pada 1984 menentang pemerintah diktator. Di tengan panasnya aksi unjuk rasa, Socrates naik ke mobil komando dan lantang melawan kebijakan parlemen dan pemerintah Brasil kala itu.
Saat itu, parlemen dan pemerintah Brasil berencana melakukan amandemen pemilu yang memungkinkan presiden ditunjuk tanpa perlu pemilihan umum.
Di depan barisan massa rakyat, Socrates mengatakan akan tetap berada di Brasil mengawal ini semua demi demokrasi Brasil. Ia mengatakan menolak bermain di Italia asalkan amandemen parlemen untuk pemilihan langsung presiden disetujui.
Kala itu, Socrates memang mendapat tawaran untuk main di Serie A Italia. Meski begitu pada akhirnya, Socrates bermain di Fiorentina dari 1984 hingga 1985. Setelahnya ia kembali ke Brasil dan bermain untuk Flamengo.
"Saya ingin tinggal di negara saya untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi demokrasi. Apakah itu bekerja sebagai pesepak bola, tukang sapu, tukang ledeng ataupun dokter," ucapnya.