Ada pelatih yang mementingkan membangun tim dari aspek psikologis seperti Jurgen Klopp di Liverpool atau Hajime Moriyasu misalnya di Timnas Jepang. Mereka adalah tipe pelatih yang menghargai individu ketimbang tim," kata pelatih kawakan asal Prancis yang sempat menukangi Jepang di Piala Dunia 2002 silam itu.
"Tapi di Vietnam, hal ini tidak dipahami dengan baik. Sepak bola diyakini dapat membuat perbedaan melalui upaya individu. Ketika tim kalah, orang-orang akan mengkritik 'mengapa pemainnya tidak bermain bagus? Atau mengapa pemain lain bermain sangat buruk?'"
"Tentu saja fans dan media bukanlah anggota tim, jadi wajar jika mereka bereaksi seperti itu. Di dalam tim dan di luar tim ada dua dunia yang berbeda. Oleh karena itu, sulit bagi media untuk memahami kolektivitas dan disiplin," koar Troussier.
"Ada juga pelatih PSG, Luis Enrique, mendapatkan kritikan keras. Dia membangun gaya permainan berbasis tim dan PSG menciptakan selisih 10 poin dengan tim peringkat kedua (di klasemen sementara Liga Prancis 2023/2024). Namun, saya tidak mengerti mengapa masyarakat masih merasa tidak puas," celoteh Troussier.
"Memang benar bahwa aspek kolektif sulit diterima oleh media. Sebab, mereka ingin para pemainnya bersinar sebagai individu, bukan sebagai tim. Meningkatnya pengaruh jejaring sosial membuat pekerjaan pelatih semakin sulit."
"Saya berbeda. Anda tahu cara saya bekerja. Saya selalu berusaha mengarahkan tim ke arah kolektif. Bagi saya, kerja kolektif jauh lebih penting daripada nilai masing-masing pemain," pungkasnya.