Mengenal David Rodriguez-Fraile, Top Skor Piala Dunia U-17 1997 yang Gantung Sepatu di Usia 20 Tahun

Syaiful Rachman Suara.Com
Kamis, 19 Oktober 2023 | 21:26 WIB
Mengenal David Rodriguez-Fraile, Top Skor Piala Dunia U-17 1997 yang Gantung Sepatu di Usia 20 Tahun
David Rodriguez-Fraile, saat memperkuat Timnas Spanyol di Piala Dunia U-17 1997. [FIFA.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama David Rodriguez-Fraile mungkin asing di telinga pecinta sepak bola dunia saat ini. Namun, bagi para penggemar sepak bola Spanyol, nama tersebut akan selalu dikenang.

David Rodriguez-Fraile adalah salah satu talenta terbaik yang pernah dimiliki Spanyol. Ia pernah bermain bersama nama-nama yang kini menjadi legenda, seperti Iker Casillas dan juga Xavi Hernandez.

David Rodriguez-Fraile, mantan pemain Timnas Spanyol di Piala Dunia U-17 1997. [FIFA.com]
David Rodriguez-Fraile, mantan pemain Timnas Spanyol di Piala Dunia U-17 1997. [FIFA.com]

David, sapaan akrabnya, merupakan salah satu pemain andalan La Furia Roja kelompok umur. Ia pernah menyihir pecinta sepak bola dunia di usia muda, di ajang Euro U-16 dan juga Piala Dunia U-17.

Namun, cedera memaksanya untuk mengubur mimpi berkarier sebagai pesepak bola profesional. Jalan hidup pun membawa menjadi seorang pengusaha sukses di Amerika Serikat saat ini.

Baca Juga: 5 Pemain Legendaris Jebolan Piala Dunia U-17, dari Luis Figo hingga Carlos Tevez

“Ayah saya lahir di Santander dan ibu saya lahir di Cordoba,” kata David dikutip dari laman resmi FIFA.

“Mereka menjalani masa mudanya di Madrid, sebelum ayah saya pindah ke AS untuk belajar MBA (Magister Administrasi Bisnis)."

“Saya lahir di Boston selama masa studinya yang memberi saya paspor AS, tapi jelas saya merasa seperti orang Spanyol – di situlah warisan saya.”

Kembali ke Spanyol Demi Wujudkan Mimpi

Kecintaan David pada sepak bola berkembang setelah ayahnya memulai bisnis di Miami dan memboyong keluarganya ke kota Key Biscayne di Florida. Saat David berusia 10 tahun, ia mulai bermimpi untuk berkarier di dunia sepak bola.

Baca Juga: Piala Dunia U-17, Gelar Tak Terlupakan dan Titik Balik Karier Phil Foden di Manchester City

Keluarganya pun kembali ke kampung halamannya dan menetap di Madrid. David pun mulai mengejar mimpinya.

“Saya bermain satu atau dua tahun dengan tim sekolah saya di Madrid sebelum saya pindah ke tim regional. Tim komunitas Madrid membina saya, dan setelah itu Real Madrid meminta saya untuk bergabung ketika saya berusia 14 tahun,” jelas David, sambil tersenyum lebar.

Di Real Madrid, David berkembang menjadi winger yang sangat cepat dengan kemampuan menggiring bola yang luar biasa dan ketajaman mencetak gol di depan gawang.

Kehebatannya tersebut mengantarkannya ke Timnas Spanyol U-16 di mana ia tampil di Euro U-16 pada April 1997. David menjadi bintang di turnamen tersebut dan meraih kemenangan dramatis 5-4 lewat adu penalti atas Austria di final.

David Rodriguez-Fraile (nomor 10), saat memperkuat Timnas Spanyol di Piala Dunia U-17 1997. [FIFA.com]
David Rodriguez-Fraile (nomor 10), saat memperkuat Timnas Spanyol di Piala Dunia U-17 1997. [FIFA.com]

Empat bulan kemudian, David kembali tampil bersama Spanyol, kali ini di ajang Piala Dunia U-17 yang berlangsung Mesir. Bersama dengan Iker Casillas dan juga Xavi Hernandez, David masuk dalam deretan pemain bintang dalam skuad Spanyol.

Di laga pembuka kontra Meksiko, David mencetak gol penentu kemenangan Spanyol. Pundi golnya kembali terisi saat mengalahkan Mali.

David juga menjadi pemain pertama yang mencetak empat gol dalam satu pertandingan di Piala Dunia U-17 saat Spanyol menutup grup dengan kemenangan 13-0 atas Selandia Baru - margin kemenangan terbesar yang pernah dicatat dalam sebua pertandingan.

Di perempat final, Spanyol menghadapi tuan rumah Mesir. David pun sudah menjadi momok bagi kubu lawan sebelum laga dimulai.

"Kami tiba di stadion dua jam sebelum pertandingan dimulai, dan stadion itu penuh sesak dan mereka [para penggemar] berteriak dan berteriak. Saat itu saya mempunyai target yang sangat besar di punggung saya karena sayalah yang mencetak gol. Jadi para pemain cukup konfrontatif ketika kami keluar dan mencoba mengintimidasi saya. Penonton menyoraki setiap kali saya menyentuh bola," kenangnya seperti dimuat laman resmi FIFA.

Di laga tersebut Spanyol menang 2-1 dan menghadapi Ghana di Semifinal. Sayang, di babak 16 besar Spanyol dipaksa menyerah dengan skor 1-2 oleh Ghana.

Di perebutan tempat ketiga, Spanyol menghadapi Jerman yang dikalahkan Brasil di semifinal. Di laga tersebut David cs menang tipis 2-1.

Gagal membawa pulang gelar, paling tidak David tidak pulang dengan tangan hampa. Total tujuh gol yang dilesakkannya diganjar dengan sepatu emas di ajang tersebut.

Namun penghargaan sepatu emas tersebut tidak mampu mengobati kesedihan David, yang kecewa timnya gagal keluar sebagai juara dunia.

“Saya akan menukar Sepatu Emas dengan memenangkan gelar bersama Spanyol,” kata David.

“Bisa dikatakan, Sepatu Emas tetaplah Sepatu Emas, tidak banyak orang yang memilikinya. Ini adalah hal yang sangat langka, jadi sejujurnya saya cukup bangga akan hal itu."

"Saya mengingatnya [turnamen] seperti baru kemarin, dan itu sudah cukup lama! Jika Anda melihat ke belakang, jelas akan sangat menyenangkan untuk menang, tapi itu adalah pengalaman yang luar biasa. Kami masih anak-anak, menjalani apa yang diinginkan oleh anak mana pun bermimpi."

Kenyataan Pahit yang Mengantarkan Kesuksesan

Kedua turnamen pada tahun 1997 tersebut pun membuka pintu karier bagi David. Dia terus mencetak gol di level pemain muda, hingga sebuah tekel merobek ligamen internal di lututnya dan membuatnya absen selama sebagian besar tahun 1998. Apa yang terjadi selanjutnya jauh lebih buruk, dan mengubah jalan hidupnya.

"Pada tahun 1999, saya kembali dan dekat dengan tim utama. Suatu hari saya bangun dan pergi menyikat gigi dan punggung saya terasa sakit. Sejak saat itu, saya menderita sakit punggung kronis selama hampir sepuluh tahun," kenang David.

“Saya tidak tahu kenapa hal itu terjadi, tidak ada yang tahu [mengapa]. Saya kira itu adalah kerusakan, tapi sampai hari ini, saya tidak begitu yakin."

"Kami sudah menjalani tes, saya menemui semua dokter terbaik di dunia, semua dokter Real Madrid memeriksa saya, tapi penyakit itu tidak kunjung hilang. Rasa sakit itu selalu ada setiap menit, setiap hari dalam hidup saya."

Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, David pada akhirnya harus menerima kenyataan pahit, yaitu mengubur mimpi sebagai pesepak bola profesional. Hal itu terjadi di tahun 2001, ketika usianya baru 20 tahun.

Di tengah keterpurukan tersebut, orang tuanya pun mengirim David kembali ke Amerika untuk menyelesaikan gelar MBA di Harvard Business School. Ia lulus pada tahun 2004, dan kemudian bergabung dengan bank investasi Goldman Sachs yang berbasis di New York.

David kemudian pindah ke hedge fund tiga tahun kemudian, dan, pada tahun 2011, dia memulai bisnis hedge fund miliknya sendiri yang sangat sukses, BlueMar Capital, juga di New York.

Pada tahun 2019, David dan keluarganya kembali ke Key Biscayne, tempat dia terus mengelola bisnisnya. Sekarang, dengan karier sepak bolanya yang hanya tinggal kenangan, apakah dia menyesali apa yang terjadi, terutama mengingat kesuksesan yang diraih generasinya di panggung senior?

"Tidak, aku tidak akan mengubah apa pun," kata David dengan percaya diri.

"Saya sangat bahagia dan menyukai apa yang saya lakukan sekarang. Saya ingat masa-masa bermain sepak bola, namun saya menyukai situasi saya saat ini dan saya memiliki keluarga yang luar biasa, itulah yang membuat saya sangat bahagia dan saya tidak akan menukarnya dengan apa pun."

"Siapa yang tahu bagaimana jadinya jika saya terus bermain bola. Melihat ke belakang, saya cukup bahagia karena hidup membawa saya ke arah ini."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI