Suara.com - Pada 3 November 1993 di Instambul Turki, sebuah pertemuan antara Manchester United dan Galatasaray pada Liga Champions mungkin hanya menjadi laga biasa di mata banyak orang.
Tetapi bagi para pemain dan staf Manchester United, pertemuan itu berubah menjadi pengalaman yang tak terlupakan, bahkan bisa dibilang seperti perjalanan ke neraka.
Galatasaray memang dikenal memiliki pendukung yang sangat fanatik dan agresif.
Mereka memiliki reputasi yang bahkan melebihi para Hooligan di Inggris atau ultras di Italia. Pada 3 November 1993, saat setan merah melakukan perjalanan ke Istanbul, mereka mungkin belum siap untuk menghadapi keganasan pendukung Galatasaray.
Baca Juga: Cedera Metatarsal Kambuh, Lisandro Martinez Bisa Absen Bela Manchester United sampai 3 Bulan
Dari cerita kanal Youtube Cerita Bola, perjalanan ini adalah yang pertama bagi Manchester United, dan tak disangka, perjalanan tersebut meninggalkan kesan buruk yang akan terus tertanam dalam diri tim dan para pemainnya.
Pada saat itu, Liga Champions baru berusia satu tahun, dan formatnya tidak seperti sekarang yang menggunakan fase grup. Mereka harus langsung bersaing dalam sistem gugur.
Pertemuan di Old Trafford berakhir dengan skor 3-3, tetapi leg kedua di Ali Sami Yen Stadium (sekarang bernama Turk Telekom Arena) menjadi momen yang penuh teror.
United tersingkir dari Liga Champions karena kalah dalam agregat gol tandang 3-3 dari Galatasaray.
Namun, yang membuat perjalanan ini benar-benar sulit adalah perlakuan tidak mengenakkan yang diterima oleh tim dan staf Manchester United dari pendukung tuan rumah. Ketika tiba di Turki pada malam hari, mereka langsung disambut oleh beberapa fans di bandara.
Baca Juga: Kiper Baru Manchester United Tak Kunjung Debut, Erik ten Hag Beri Penjelasan
Namun, yang memberikan sambutan adalah suporter Galatasaray yang sudah siap dengan nyanyian, teriakan, dan mengumpat ke arah semua pemain, sambil membentangkan spanduk bertuliskan "Selamat datang di neraka."
Perlakuan buruk tidak berhenti di bandara. Para pendukung Galatasaray mengikuti rombongan United hingga ke hotel tempat tim menginap dan terus mengganggu mereka sampai larut malam.
Teriakan, nyanyian, dan ancaman terus menerus dilontarkan untuk membuat Sir Alex Ferguson dan para pemain tidak bisa tidur nyenyak.
Dalam sebuah wawancara, Roy Keane menggambarkan atmosfer di Ali Sami Yen Stadium sebagai sesuatu yang luar biasa.
Para fans Galatasaray melakukan segala cara untuk mengganggu tim tamu. Mereka merasa seperti ada seluruh stadion yang terbakar dengan emosi.
Peluit pertandingan tanda dimulainya pertandingan hanya menambah ketegangan.
Pertandingan itu sendiri sangat sengit dengan banyak pelanggaran, pemborosan waktu, dan desakan kepada wasit.
Para pemain United merasa bahwa mereka dihadapkan pada suasana yang tidak ramah, dan Eric Cantona akhirnya diusir keluar lapangan setelah berduel dengan pemain Galatasaray.
Bahkan di luar lapangan, Cantona tak bisa menghindari konflik, dan insiden tersebut hanya menambah beratnya beban bagi Manchester United.
Sir Alex Ferguson harus mencoba menjaga ketenangan timnya di tengah suasana yang memanas.
Pemain MU saat itu, seperti Eric Cantona, Roy Keane, dan Bryan Robson, adalah individu yang memiliki temperamen tinggi, tetapi di hadapan ketegangan di Ali Sami Yen Stadium, bahkan mereka merasa takut untuk melawan para pendukung Galatasaray.
Kisah ini adalah salah satu yang tak terlupakan dalam sejarah Manchester United.
Perjalanan ke Istanbul pada tahun 1993 tidak hanya menjadi tantangan dalam pertandingan, tetapi juga ujian mental dan emosional bagi tim dan para pemain.
Teror yang mereka alami dari pendukung Galatasaray membuat mereka merasakan betapa panasnya neraka di lapangan itu.
Mungkin pertandingan sepak bola seharusnya hanya tentang permainan di atas lapangan, tetapi pada tiga November 1993, Manchester United belajar dengan keras bahwa kadang-kadang perjalanan sepak bola juga bisa membawa mereka ke dalam neraka yang sesungguhnya.