Suara.com - Rasanya tak sepatutnya semua elemen di sepak bola Tanah Air terlalu terus berlarut dalam euforia atas torehan medali tim nasional Indonesia U-22 di SEA Games Kamboja 2023.
Meski sudah 32 tahun lamanya medali emas itu baru kembali di tanah ibu pertiwi, namun sepak bola Indonesia masih memiliki berbagai persoalan yang belum teratasi.
Hal itu juga sempat disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir.
Seperti halnya sebuah janji, kini PSSI perlahan namun pasti telah menjalin kesepakatan pengembangan sepak bola dengan Japan Football Asociation (JFA) untuk jenjang pengembangan pemain muda, timnas senior, timnas putri hingga tata kelola liga domestik.
Baca Juga: Ranking FIFA Tim Grup D Piala Asia 2023, Timnas Indonesia Paling Rendah
Kesepakatan antara PSSI dan JFA pun telah terjalin dengan suasana khidmat di Prince Takamado Memorial JFA YUME Field, Chiba, Jepang, Senin (22/5/2023).
"Kerjasama ini akan mengembangkan program untuk pemain muda, senior dan sepak bola wanita. Juga mengenai sistem perwasitan, infrastruktur dan liga domestik dan tentu tim nasional," kata Ketua Umum PSSI Erick Thohir dalam sesi konferensi pers, Senin.
Tentu ini bakal menjadi angin segar bagi persepakbolaan Tanah Air yang dapat langsung menimba ilmu dari JFA sebagai salah satu produk terbaik di kancah timnas Jepang.
Timnas berjuluk samurai biru itu tak serta merta dibangun hanya sehari atau dua hari atau dari satu pemusatan latihan ke pemusatan latihan lain hingga menjadi langganan ikut serta di Piala Dunia.
Tapi ada manajemen dan tata kelola persepakbolaan yang memang telah disiapkan oleh JFA jauh-jauh hari sehingga panggung sepak bola dunia kini dapat menyaksikan kehebatan salah satu pemain Jepang, Kaoru Mitoma.
Baca Juga: Kisah Timnas Indonesia Dipermalukan Legenda Argentina Diego Maradona di Piala Dunia
Manajemen timnas
Sangat jarang melihat dalam skuad timnas Jepang dihuni lebih dari 30 persen pemain hasil naturalisasi. Asosiasi sepakbola Jepang memang tidak mengambil langkah instan tersebut karena langkah utama mereka adalah memberdayakan pemain home grown menjadi pemain berkelas internasional.
Nama-nama yang telah merambah ke Eropa di tahun 2000-an seperti Makoto Hasabe dan Shunsuke Nakamura tak serta merta membuat timnas Jepang puas akan hasil produk mereka. Justru itu adalah langkah awal yang menjadi pelajaran untuk Jepang bagaimana mengirimkan ekspansi pemain ke Eropa.
Semenjak tahun 2010, eksodus pemain Jepang ke Eropa semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kini nama-nama seperti Kaoru Mitoma (Brighton - Inggris), Takehiro Tomiyasu (Arsenal - Inggris), Takefusa Kubo (Real Sociedad - Spanyol), Daichi Kamada (Eintracht Frankfurt-Jerman), lalu Ritsu Doan (SC Freiburg - Jerman) bermain di lima liga terbaik di dunia.
Di Piala Dunia 2022 dari 26 pemain yang dipanggil timnas, skuad Samurai Biru berisi 20 pemain yang kini merumput di Eropa. Hasilnya tak terlalu buruk, Jepang berhasil tumbangkan salah satu kandidat kuat juara Jerman.
Dengan banyaknya pemain yang bermain di liga top Eropa, para pemain sudah terbiasa merasakan atmosfer sepak bola di level yang berbeda sehingga dapat mudah beradaptasi dengan event internasional sekaliber Piala Dunia.
Satu hal yang membuat pemain-pemain home grown Jepang kini merambah ke Eropa yaitu mengenai karakter yang melekat di dalam diri pemain yaitu etos kerja dan beringegritas.
Sepak bola dunia mengakui karakter pemain Jepang, banyak klub-klub yang menyisihkan satu slot pemain Asia atau Non-Eropa untuk diisi oleh pemain Jepang karena memiliki etos kerja dan berintegritas tinggi, baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan.
Manajemen liga
Berbicara mengenai karakter tidak serta merta terbentuk dalam satu atau dua tahun saja, itu juga yang ditunjukkan Jepang hingga dapat membentuk karakter pemainnya seperti sekarang.
JFA membentuk akademi-akademi yang tersebar ke seluruh wilayah kota di Jepang. Akademi-akademi itu berafiliasi dengan tim-tim pro dari J-League yang memiliki satu kurikulum atau blue print sepak bola yang sama.
Tidak hanya dari komponen pengembangan pemain, JFA juga memberikan pelatihan dan pengembangan terhadap para pelatih yang nantinya akan membina di akademi hingga memperoleh lisensi AFC.
Pengembangan sepak bola itu membuat Jepang kini mempunyai scouting yang merata di berbagai penjuru kota, tidak hanya terpusat pada beberapa kota seperti Tokyo, Osaka dan Shizuoka.
Pada sebuah jurnal berjudul "Does the Mobility of Football Players Influence the Success of the National Team?" yang ditulis oleh Dirk Baur dan Sibylle Lehmann, dijelaskan timnas yang mencapai kesuksesan dimulai dengan pemain yang di ekspor ke liga yang berperingkat lebih baik dan liga diisi sebagian oleh pemain asing.
Dalam jurnal terbitan Institute for International Integration Studies, 2007, menyimpulkan bahwa pemain yang bermain di luar negeri membuat timnas dapat tampil baik di ajang internasional.
Dalam melakukan tata kelola J-League, JFA juga sadar akan hal itu. Selain membuat regulasi mengenai kuota pemain asing yang sesuai kebijakan yang diberikan AFC, klub-klub J-League melakukan produksi-produksi pemain bertalenta dengan memberikan kesempatan menit bermain ke pemain muda.
Pertama, mengenai regulasi pemain asing selain untuk membuat klub-klub dapat bersaing di kompetisi teratas Liga Champions Asia namun juga dapat menjadi proyek untuk memperoleh exposure dari sepak bola dunia.
Nama-nama pemain kelas dunia yang berhasil dikontrak klub J-League seperti Andres Iniesta, Lukas Podolski hingga Fernando Torres juga dapat menularkan ilmunya kepada pemain muda.
Kedua, semakin tinggi ekspose liga juga bakal diiringi dengan kehadiran agen pencari bakat yang bakal merekrut pemain muda. Itu juga terjadi di J-League, dengan menunjukkan tata kelola liga yang baik maka tak segan-segan para pencari bakat pun akan berdatangan mencari bakat.
Indonesia beberapa langkah di belakang Jepang dalam urusan pengembangan dan tata kelola sepak bola. Dengan tercapainya kesepakatan kerjasama ini setidaknya menjadi momentum untuk belajar dari Samurai Biru.
Menarik sedikit sejarah, sebetulnya JFA pernah menimba ilmu tata kelola liga ke Indonesia di masa Galatama. Dari situ mereka dapat mengambil banyak ilmu dan melakukan pengembangan sepak bola dengan road map jangka panjang. Sementara Indonesia terasa hanya berjalan ditempat.
Dengan adanya kerjasama ini semoga sepak bola Indonesia dapat belajar banyak dari pengembangan Jepang. Atau setidaknya belajar agar bagaimana caranya tidak berjalan di tempat.
[ANTARA]