Beratnya Jadi Pekerja Proyek Piala Dunia 2022 Qatar: Seperti di Neraka Dunia, Tewas karena Kelelahan

Rabu, 02 November 2022 | 18:35 WIB
Beratnya Jadi Pekerja Proyek Piala Dunia 2022 Qatar: Seperti di Neraka Dunia, Tewas karena Kelelahan
Pekerja Piala Dunia 2022 Qatar (AFP)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang kuli bangunan proyek Piala Dunia 2022 Qatar bersaksi betapa beratnya bekerja di sana. Bahkan disebut seperti neraka dunia. Pekerja konstruksi proyek Piala Dunia 2022 bagaikan tenaga kerja sekali pakai.

Hal itu dikisahkan Krishna Timislina, yang sudah setahun lebih bekerja di lokasi konstruksi Piala Dunia.

Dia menyebut kondisinya seperti "neraka di bumi”.

Krishna Timislina diwawancara wartawan Prancis Sébastian Castelier dan Quentin Muller untuk buku mereka "Les Esclaves de l'Homme Pétrole" atau yang berarti "Budak Manusia Minyak".

Baca Juga: 3 Pemain Belanda Keturunan Indonesia yang Nyaris Raih Gelar Piala Dunia 2010

Pekerja Piala Dunia 2022 Qatar (AFP)
Pekerja Piala Dunia 2022 Qatar (AFP)

"Kondisi kehidupan yang genting, kualitas air yang buruk dan perubahan yang tak berkesudahan, kita mengetahui kesehatan kita sedang rusak – tetapi apakah kita punya pilihan?” kata Krishna Timislina, pria berusia 36 tahun itu mengawali kisah.

Dikutip dari france24, Krishna Timislina mengatakan bisa bekerja selama 18 jam sehari dari normalnya manusia bekerja selama 9 jam. Sebab Qatar terus mengejar proyek agar cepat selesai.

Dengan bekerja selama 18 jam, Krishna Timislina dan teman-temannya kadang harus meminum suplemen penambah energi. Ditambah kualitas air minum yang buruk.

Pekerja Piala Dunia 2022 Qatar (AFP)
Pekerja Piala Dunia 2022 Qatar (AFP)

Bahkan banyak orang meninggal dunia karena kelelahan.

Kebanyakan pekerja dari India, Pakistan, Nepal, Kenya dan Sudan.

Baca Juga: Son Heung-min Keluar Lapangan Sambil Menangis di Champions League, Korsel Ketar-ketir Jelang Piala Dunia 2022

“Mereka mencoba keberuntungan, mengetahui bahwa tidak sepenuhnya pasti bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka. Mereka tertarik dengan gaji yang tinggi – sangat tinggi dibandingkan dengan negara asal mereka. Mereka melihatnya sebagai peluang ekonomi yang sepadan dengan risikonya,” kata dia.

Dalam bukunya, Castelier dan Muller banyak bercerita dengan mengumpulkan sekitar 60 pekerja untuk diwawancara.

“Ini seperti tenaga kerja sekali pakai,” kata Castelier.

“Begitulah cara kerja migrasi ke negara-negara Teluk. Tidak mungkin seorang imigran mendapatkan kewarganegaraan lokal. Jadi ketika mereka tidak lagi bekerja, mereka harus pergi. Anda bisa melihat bagaimana itu terjadi selama Covid ketika semuanya terhenti.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI