Suara.com - Kemenangan menakjubkan AC Milan atas Barcelona di partai final Champions League 1994 menandai era baru sepak bola. Yaitu era sepak bola yang didasarkan taktik reaktif dan counter attack atau serangan balik
Pertandingan final Champions League musim 1993/94 antara AC Milan vs Barcelona tersebut menandai akhir dari dominasi total football ala Johan Cruyff yang sebelumnya menjadi kunci sukses La Blaugrana di awal tahun 90-an.
Johan Cruyff adalah sosok di balik kebangkitan Barcelona sebelum masa keemasan Josep Guardiola di tahun 2008. Ketika itu, Guardiola yang dikenal sebagai pelatih yang sukses menyempurnakan filosofi tiki-taka Cruyff, masih bermain di bawah asuhan pelatih asal Belanda itu.
Cruyff menukangi Barcelona pada 1988 hingga 1996. Sebelum kekalahan El Barca dari AC Milan di final Champions League 1994, Cruyff berhasil mempersembahkan empat gelar La Liga secara beruntun. Dari musim 1990-91 hingga 1993-94.
Baca Juga: Profil Shin Jae-won, Anak Shin Tae-yong yang Berlatih Bersama Timnas Indonesia U-19
Di musim 1991-92, Cruyff juga yang mengakhiri puasa gelar Barcelona akan trofi Champions League.
Sayang, prestasi gemilang Cruyff lewat filosofi total football-nya di Barcelona berakhir tragis di tangan AC Milan. Tragis karena semuanya diawali dengan kesombongan.
Kesombongan Johan Cruyff Jelang Partai Final
"Barcelona adalah favorit," kata Cruyff sebelum pertandingan.
"Kami lebih lengkap, kompetitif, dan berpengalaman daripada [di final 1992] di Wembley," sambungnya dikutip Goal International.
Baca Juga: Deretan Pemain Naturalisasi dengan Caps Terbanyak di Timnas Indonesia
"AC Milan bukan apa-apa dari dunia ini. Mereka mendasarkan permainan mereka pada pertahanan; kami mendasarkan permainan kami pada serangan," jelas Cruyff.
Kata-kata Cruyff dalam jumpa pers ketika itu tidak terlupakan hingga kini karena kesombongan legenda asal Belanda tersebut.
Karena pada akhirnya, AC Milan yang ia remehkan menang telak dengan skor 4-0 dalam partai final yang digelar di Stadion Olimpiade, Athena, 18 Mei 1994.
Empat gol AC Milan dalam laga tersebut dicetal oleh Daniele Massaro (22', 45+2'), Dejan Savicevic di menit 47 dan Marcel Desailly di menit 58.
Pendekatan 'Catenaccio' Fabio Capello yang Mengubah Paradigma
Pada tahun 1994, 'serangan lebih unggul daripada pertahanan' adalah kebijaksanaan yang berlaku. Namun seperempat abad kemudian, para ahli taktik yang mengutamakan pertahanan – mereka yang memprioritaskan pragmatisme dan serangan balik – masih mengotori permainan.
Semua itu dimulai di Athena lewat pendekatan Fabio Capello yang pada akhirnya menghidupkan kembali pemikiran Catenaccio- sistem taktis yang menitikberatkan kekuatan pada pertahanan.
Kemenangan mengejutkan 4-0 AC Milan atas Barcelona bukan hanya tentang 'membunuh' the dream team saat itu, tapi juga menjadi hari kelahiran kembali taktik reaktif.
“Kalian lebih baik dari mereka, kamu akan menang,” demikian pesan yang dibagikan Cruyff kepada para pemainnya jelang final. Pesan yang justru menjadi bumerang bagi Barcelona.
Dengan bermain bertahan, Capello ternyata mampu mengeksploitasi kelemahan Barcelona. Pelatih asal Italia itu mengatur timnya untuk menekan hanya di setengah lapangan mereka sendiri, mencekik lini tengah Barca dengan blokade sempit sebelum melancarkan serangan balik cepat lewat sayap.
Usai kekalahan di final Champions League 1994, era keemasan Barcelona bersama Cruyff berakhir. Barcelona tidak lagi memenangi gelar hingga sang legenda dari Negeri Kincir Angin itu dipecat pada 1996.
Sedangkan bagi AC Milan, kemenangan cleansheet 4-0 di final ketika itu menjadi rekor yang belum terpatahkan di Champions League hingga saat ini.