Suara.com - Tragedi sepak bola Indonesia, yang sejauh ini menewaskan 125 orang di Malang, Jawa Timur, menjadi salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga dunia.
Namun peristiwa yang terjadi Stadion Kanjuruhan pada Sabtu, 1 Oktober 2022, memiliki banyak kesamaan dengan tragedi-tragedi sebelumnya, tidak hanya soal jumlah korbannya yang besar.
Persoalan umum dalam bencana di stadion adalah kegagalan tindakan pengendalian massa untuk melindungi penonton.
Estadio Nacional, Peru (1964)
Lebih dari 300 orang tewas ketika pertandingan antara Timnas Peru melawan Argentina ricuh setelah gol tim tuan rumah dianulir.
Baca Juga: Tur Persiba Balikpapan ke Papua Dipastikan Tertunda, Karena Tragedi Kanjuruhan?
Suporter Peru menyerbu lapangan dalam pertandingan kualifikasi untuk Olimpiade Tokyo 1964 itu, dan polisi meresponsnya dengan menembakkan gas air mata ke kerumunan di Estadio Nacional Lima.
Hal ini menyebabkan massa berdesakan menuju pintu keluar yang terkunci.
Data resmi korban yang tewas adalah 328, namun jumlah korban secara keseluruhan mungkin lebih tinggi karena angka resmi itu tidak termasuk korban yang tewas tertembak dalam bentrok antara suporter dan aparat keamanan di luar stadion.
"Ada banyak laporan saksi mata tentang orang-orang yang tewas karena luka tembak, tteapi hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki ini, Benjamin Castaneda, tidak pernah menemukan jenazah-jenazah itu untuk membuktikannya," kata wartawan BBC Sport, Piers Edwards pada 2014, tepat 50 tahun setelah tragedi olahraga terburuk di dunia itu.
Jorge Azambuja, komandan polisi yang memerintahkan penembakan gas air mata dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.
Baca Juga: Gaungkan Mataram Is Love, Ribuan Suporter Doa Bersama Tragedi Kanjuruhan di Mandala Krida
Baca juga:
- Tragedi Kanjuruhan: Aksi represif dan tembakan gas air mata terhadap suporter 'bukan pertama kali terjadi', namun 'tidak pernah ditangani serius'
- Kisah pilu di Pintu 13 dan 14 Stadion Kanjuruhan: 'Seperti kuburan massal, banyak anak kecil meninggal'
- Menit-menit mematikan tragedi Stadion Kanjuruhan, ‘jeritan, tergeletak tak bernyawa’, cerita para saksi dari sejumlah tribun
Stadion Olahraga Accra, Ghana (2001)
Satu pertandingan derby antara dua tim yang sangat populer Hearts of Oak dan Asante Kotoko, berujung ricuh pada Mei 2001 setelah suporter Kotoko meluapkan kekecewaan karena tim mereka menelan kekalahan.
Polisi menembakkan gas air mata dan para suporter bergegas ke pintu keluar yang ternyata terkunci. Setidaknya 126 orang tewas dalam insiden tersebut, yang menjadi tragedi sepak bola terburuk di Afrika sampai saat ini.
"Saya melihat lelaki muda, lelaki yang gagah terbaring mati di lantai. [Hati] saya hancur. Saya tidak bisa menghitung [jumlah orang yang meninggal]," kata Wakil Menteri Olahraga Ghana saat itu, Joe Aggrey kepada BBC.
Menurut penyelidikan, polisi bertanggung jawab karena mengambil tindakan yang berlebihan dan enam anggota polisi didakwa melakukan pembunuhan.
Namun, mereka dibebaskan dalam persidangan pada tahun 2003.
Seorang jurnalis lokal yang meliput persidangan itu, Paul Adom Otchere mengatakan putusan itu dinilai tepat oleh sebagian besar masyarakat Ghana.
"Apa yang diinginkan publik adalah penuntutan terhadap yang membangun stadion, inspektor yang menyatakan stadion itu aman, dan orang-orang yang mengunci pintu keluar," kata dia kepada BBC Sport.
Hillsborough, Inggris (1989)
Tragedi ini adalah salah satu bencana sepak bola terburuk dan paling kontroversial di dunia.
Pengelolaan massa yang buruk menjelang pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest berujung kematian 96 pendukung Liverpool di Stadion Hillsborough yang dipagari ketat.
Andrew Devine mengalami cidera serius yang mengubah hidupnya dan meninggal pada usia 55 tahun pada 2021. Dia menjadi korban ke-97 dari tragedi itu.
Polisi dan media Inggris mulanya menyalahkan suporter atas insiden itu, menuduh mereka mabuk dan tidak tertib. Namun tuduhan itu dibantah oleh serangkaian penyelidikan selama tiga dekade berikutnya.
Pada 2016, hakim menyimpulkan bahwa para korban dibunuh di luar hukum dan para suporter tidak berkontribusi terhadap kematian mereka.
Stadion Dasharath, Nepal (1988)
Badai es yang terjadi tiba-tiba menyebabkan kepanikan para suporter yang menonton pertandingan di ibu kota Nepal pada Maret 1988.
Orang-orang bergegas mencari perlindungan ke satu-satunya bagian stadion yang beratap, namun mereka didorong kembali oleh polisi. Sementara itu, penonton mencoba keluar stadion menemukan bahwa pintu gerbang terkunci.
Situasi itu mengakibatkan puluhan orang meninggal. Data kematian resmi yang tercatat adalah 70, namun media-media Nepal memperkirakan bahwa korban meninggal mencapai 93 orang.
"Sandal dan sepatu milik korban tewas dan terluka berserakan di mana-mana," kata Anil Rupakheti, mantan pemain bola yang berada di lapangan pertandingan saat itu kepada surat kabar Kathmandu Post pada 2020.
Stadion Port Said, Mesir (2012)
Pertandingan liga antara klub Mesir Al Masry dan Al Ahly di Kota Port Said pada Februari 2012 berujung duka.
Setelah timnya menang 3-1, penggemar Al Masry menyerbu suporter Al Ahly yang terjebak karena aparat menolak membuka gerbang stadion. Kerusuhan besar-besaran itu mengakibatkan 74 orang tewas dan 500 orang luka-luka.
Lebih dari 70 orang, termasuk sembilan polisi, didakwa dengan 47 hukuman, termasuk hukuman mati.
Salah satu kelompok pendukung al-Ahly yang dikenal sebagai "ultras" berperan penting dalam aksi protes terhadap Presiden Hosni Mubarak yang digulingkan pada 2011.
Para suporter menuduh pendukung Mubarak menghasut kericuhan di Port Said sebagai aksi balas dendam, namun polisi tidak berbuat banyak untuk mencegahnya.
"Saya masih bermimpi buruk tentang malam itu dan pemandangan mengerikan yang saya saksikan sendiri," kata Fabio Junior, pesepakbola Brasil yang bermain untuk Al-Ahly pada saat itu, kepada ESPN Brasil pada 2019.
Stadion Luzhniki, Rusia (1982)
Stadion Moskow, Rusia, yang menjadi tuan rumah final Piala Dunia 2018 juga pernah menjadi lokasi tragedi sepak bola besar yang ditutupi selama bertahun-tahun.
Hampir 40 tahun sebelumnya, pada era Uni Soviet, serbuan di akhir pertandingan antara Spartak Moscow dan klub Belanda, HFC Haarlem, berujung kematian banyak suporter tuan rumah.
Data resmi kematian, sebanyak 66 jiwa, baru diungkapkan pada 1989 setelah sebelumnya tragedi itu hanya disebut sebagai "sebuah insiden".
Para saksi mata melaporkan bahwa mayoritas suporter berdesakan di satu bagian stadion karena jumlah penonton hanya sedikit dan cuaca sangat dingin.
"Hanya satu pintu keluar yang terbuka untuk memudahkan polisi mengendalikan kerumunan," kata Alexander Provestov, seorang jurnalis Rusia yang menyaksikan pertandingan itu kepada Al Jazeera.
"Itu adalah kesalah yang mengerikan."