Suara.com - Bagi Sulastri, sang suami, Ahmad Wahyudi adalah pahlawan saat tragedi Kanjuruhan. Sang suami menyelamatkan cucu, dirinya, keponakan dan menantu. Namun Ahmad Wahyudi meninggal dunia saat itu.
Cerita bermula saat Ahmad Wahyudi, Sulastri bersama keponakan, menantu, dan cucu ikut nonton rema FC berlaga melawan seteru abadinya, Persebaya Surabaya pada pekan ke-11 Liga 1 2022, Sabtu (1/10/2022) malam.
Setelah pertandingan selesai, muncul kericuhan. Saat itu polisi dan TNI menghalau sejumlah Aremania yang memasuki lapangan hendak bersalaman dengan skuat kesayangannya.
Wahyudi yang berusia 40 tahun pun segera menjak rombongan keluarganya keluar stadion. Alasannya anak kecil yang mereka bawa tidak pantas melihat keributan itu.
Baca Juga: Selain "Liga Indonesia Dibekukan 8 Tahun", Ini 6 Sanksi FIFA Imbas Tragedi Kanjuruhan
“Enggak baik anak kecil lihat kayak begini," kata Wahyudi, dikutip dari Bolatimes.
Akhirnya mereka keluar dengan menuju tangga ke arah pintu keluar tribun 12. Dia juga sempat meminta istrinya berpegangan tangan.
Mereka pelan-pelan meniti tangga. Namun saat itu Sulastri melihat benda berasap melayang di atas kepalanya. Itu adalah gas air mata. sehingga seketika itu juga matanya terasa perih.
Benda itu gas air mata yang ditembakkan polisi dari pinggir lapangan.
Saking perihnya, Sulastri tak bisa membuka mata. Pada kesempatan terakhir melihat, ia menggamit tangan Wahyudi.
Baca Juga: Indonesia Lumat Habis Guam, Bima Sakti Persembahkan Kemenangan untuk Persatuan Suporter
“Pegangan semua, pegangan,” perintah Wahyudi.
Wahyudi berada paling depan, diikuti Sulastri, menantu, cucu, dan ketiga keponakannya.
Dari sekitar tangga, persisnya di tribun nomor 12, Aremania lainnya banyak berteriak ketakutan. Polisi menembaki mereka memakai gas air mata.
Demi menyelamatkan diri, penonton bergegas ke tangga menuju pintu 12, sehingga Wahyudi sekeluarga harus melawan arus massa untuk sampai ke gerbang.
Ratusan orang berdesak-desakan, mencari jalan keluar. Tapi, pintu 12 hanya dibuka satu sisi.
Wahyudi mencari cara agar bisa menyelamatkan keenam anggota keluarganya. Sembari terus berpegangan tangan, mereka menyeruak mendekati pintu.
Sementara dorongan Aremania dari arah belakang semakin kuat. Tak ayal, pegangan Wahyudi dengan keenam keluarganya terlepas.
Sulastri terombang-ambing di tengah massa yang berdesak-desakkan. Ia terdorong ke sana-ke mari oleh suporter yang juga ingin selamat.
Dada Sulastri semakin sesak, kedua matanya tak bisa melihat karena perih. Dalam hati, ia hanya pasrah bila harus mati di pintu 12. Setelahnya, dia tak sadarkan diri.
Ketika siuman, Sulastri justru harus menerima kabar buruk, suaminya tewas. Sementara cucu, menantu, dan ketiga keponakannya berhasil keluar selamat dari stadion.
“Bapak meninggal demi menyelamatkan kami dan cucunya,“ kata Sulastri, Senin (3/10/2022).
Suaranya masih parau. Sulastri bersama belasan penyintas tragedi Kanjuruhan larut dalam kesedihan yang sama di kantor Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, saat mengenang peristiwa tersebut.