Ketika Kostum Timnas Brasil Dipolitisasi Menjelang Pemilihan Presiden

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 03 Oktober 2022 | 16:22 WIB
Ketika Kostum Timnas Brasil Dipolitisasi Menjelang Pemilihan Presiden
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sofia Ferreira Santos & Marcus Alves

BBC News

Setelah lama ditunggu-tunggu publik Brasil, kostum tim nasional untuk Piala Dunia 2022 akhirnya dirilis pada Agustus lalu. Banyak orang langsung menyerbu toko untuk mendapatkannya, termasuk seorang mahasiswa bernama Joo Vitor Gonalves de Oliveira.

Pemuda berusia 20 tahun itu buru-buru mendatangi toko terdekat, mengambil kaus khas kuning hijau yang pas dengan ukuran tubuhnya, dan membawa kaus tersebut ke kasiryang menyambutnya dengan senyuman.

Baca Juga: 5 Pemain Timnas Brasil yang Tak Dipanggil untuk FIFA Matchday, Absen Juga di Piala Dunia 2022?

Si pemilik toko berasumsi saya mendukung pemerintah karena saya membeli kostum timnas, dan mulai menjelek-jelekkan kandidat sayap kiri, Lula, papar Joo kepada BBC.

Joo sejatinya tidak mendukung pemerintahan Jair Bolsonaro yang bakal bertarung agar bisa terpilih kembali dalam pemilihan presiden, Minggu (2/10).

Namun, Joo baru sadar bahwa dengan membeli kostum timnas, orang-orang bisa berpikir bahwa dia menyokong Bolsonaro.

Guna menghindari konfrontasi, Joo berpura-pura mendukung Bolsonaro.

Di situ pula dia menyadari bahwa kostum kuning-hijau yang pernah dikenakan Pele, Ronaldo, dan banyak pesepakbola terkenal lainnya telah menjadi simbol bangsa yang terbelah.

Baca Juga: Tak Dilirik Timnas Brasil meski Moncer Bareng Arsenal, Ini Reaksi Gabriel Jesus

Kaus itu telah dinodai oleh politik sejak 2014, kata Mateus Gamba Torres, professor sejarah di Universitas Braslia.

Delapan tahun lalu, jutaan rakyat Brasil turun ke jalan untuk memprotes Dilma Rousseff, yang saat itu menjabat presiden. Dalam demonstrasi tersebut, para pengunjuk rasa berpakaian senada dengan warna bendera Brasil, yakni kuning, hijau, dan biru.

Kemudian pada 2018, ketiga warna itu dipakai lagi oleh Jair Bolsonaro yang mencalonkan diri sebagai presiden.

Tahun ini, warna-warna tersebut tampak mencolok dalam pawai kampanye Bolsonaro. Kostum timnas, aksesori, dan berbagai macam hiasan berwarna kuning, hijau, dan biru dikenakan oleh para pendukung tokoh sayap kanan itu.

Kaus hijau dan kuning menjadi simbol bagi mereka yang terkait dengan pemerintahan Bolsonaro. Yang berarti sebagian populasi [Brasil] tidak lagi mengidentifikasi diri mereka dengan warna-warna itu, tutur Gamba Torres.

Baca juga:

Perjumpaan Joo dengan pemilik toko bukan satu-satunya alasan mengapa dia kini enggan bicara soal politik. Alasan lainnya adalah di Brasil, perdebatan politik bisa mematikan.

Pada Juli, Marcelo Aloizio de Arruda pendukung mantan presiden Luiz Incio Lula da Silva ditembak hingga tewas pada pesta ulang tahunnya yang ke-50. Dia diduga tewas ditembak seorang polisi yang sebelumnya berteriak menyokong Presiden Bolsonaro.

Sebelum tewas, Arruda balas menembak penyerangnya yang sempat dirawat di rumah sakit lalu dikirim ke penjara, tempat dia menunggu sidang.

Kemudian, pada 9 September, Benedito Cardoso dos Santos yang berusia 44 tahun tewas karena diduga dibunuh koleganya setelah mereka berdua berdebat soal politik. Tersangka yang berusia 22 tahun kini ditahan polisi.

Serangkaian kejadian ini membuat seorang warga bernama Ruy Arajo Souza Jnior tidak mau ke luar rumah memakai kostum timnas Brasil. Pria berusia 43 tahun itu menegaskan kepada BBC bahwa dia tidak mau orang-orang mengiranya sebagai pendukung Bolsonaro.

Jika mantan Presiden Lula memenangi pilpres, Ruy berharap kostum timnas Brasil akan kembali mempersatukan kami dan menyimbolkan cinta sejati kepada negara kami, bukan kepada sebuah partai politik.

Sadar akan kondisi tersebut, kandidat presiden, Luiz Incio Lula da Silva, berfokus mengeklaim lagi bendera Brasil.

Sejumlah pendukungnya, seperti penyanyi Ludmilla, bintang internasional Anitta, dan rapper Djonga, sengaja memakai kostum timnas Brasil dalam pertunjukan masing-masing.

Djonga, yang menjadi bagian dari kampanye resmi Nike untuk kostum timnas Brasil menjelang Piala Dunia 2022, mengatakan kepada penonton konsernya bahwa memakai kostum timnas di depan publik adalah aksi protes.

Mereka [para pendukung Bolsonaro] berpikir semuanya adalah milik mereka, mereka mengubah makna keluarga, mereka mengubah makna lagu kebangsaan, mereka mengubah makna semuanya. Tapi ini kenyataannya: semuanya adalah milik kita, tiada yang milik mereka, cetus Djonga.

Namun, kini bukan saja para lawan politik Bolsonaro yang berhati-hati dalam memakai kostum timnas Brasil.

Saya adalah seorang patriot dan sayap kanan. Saya sangat ingin memilih dengan memakai kostum kuning saya, kata pendukung Bolsonaro, Alessandra Passos, 41.

Akan tetapi, karena ketegangan antara pendukung Lula dan Bolsonaro, Alessandra mengaku takut memakainya pada hari pemilihan.

Lepas dari kebanggaan, ketakutan, dan kehati-hatian warga awam dalam memakai kostum timnas Brasil, bagaimana pendapat para pesepakbola timnas Brasil?

Pemain lini depan Tottenham dan timnas Brasil, Richarlison, mengatakan konotasi yang terkandung dalam kostum timnas membuat warga Brasil tak lagi lekat dengan kostum dan bendera sehingga kesamaan identitas yang mereka miliki kini tergerus.

Sebagai seorang pendukung, pemain, dan warga Brasil, saya melakukan upaya terbaik dalam membagikan identitas yang kami miliki kepada seluruh dunia. Saya meyakini penting untuk mengakui bahwa kami semua orang Brasil dan punya darah Brasil [di atas segalanya], papar Richarlison.

Karenanya, kampanye iklan Nike untuk kaus baru ini menampilkan kepribadian dari berbagai sisi spektrum politik - berfokus pada kebersamaan sebagai topik utamanya. Kaus itu, kata Nike, adalah "kolektif. Kaus ini mewakili lebih dari 210 juta orang Brasil. Ini milik kita".

Merek tersebut juga melarang kaus itu dimodifikasi dengan referensi politik atau istilah agama.

Bagaimanapun, banyak orang Brasil masih memilih untuk membeli kaus tandang biru, yang terjual habis beberapa jam setelah dirilis.

Pelatih futsal, Matheus Rocha, 28, mengatakan kepada BBC News bahwa dia telah memutuskan untuk mengenakan kaus biru tahun ini.

"Saya tidak merasa ada keinginan untuk memakai kaus kuning," katanya. "Sebenarnya, saya jijik ketika membayangkan memakainya [kaus kuning], saya bahkan tidak mengeluarkan kaus yang lama dari laci. Sayang sekali, karena kaus tersebut sangat bagus."

Dia mengatakan perasaan serupa mengemuka di antara para sahabat dan rekan-rekannya. "RIP kaus kuning," katanya. "Dan saya berharap Brasil memenangkan gelar Piala Dunia keenamnya dengan memakai kaus warna biru untuk rakyat."

Meskipun banyak yang punya perasaan sama dengan Matheus, kaus kuning timnas Brasil masih populer di kalangan penggemar sepak bola di seluruh negeri.

Kelompok pendukung Movimento Verde e Amarelo (Gerakan Hijau dan Kuning) berpikir bahwa Piala Dunia akan membantu rakyat Brasil kembali mengenakan kaus kuning.

"Kami tidak setuju dengan mereka yang berkeras bahwa kaus kuning Seleo sudah mati, kami hanya sedih melihatnya digunakan sebagai alasan untuk bentrokan politik," kata Luiz Carvalho, anggota pendiri kelompok tersebut.

"Tidak masuk akal untuk mengatakan kaus kuning tidak mewakili politisi ini atau politisi itu ketika seluruh pemikiran di balik kaus kuning justru sebaliknya," tambahnya.

"Ketika tim kami memasuki lapangan, begitu juga kebanggaan yang kami miliki sebagai orang Brasil. Jadi apa pun yang terjadi dalam pemilihan Oktober, cinta yang harus menang, seperti yang selalu terjadi."

Namun, bagi sebagian pendukung Bolsonaro, kaus kuning telah menjadi simbol cinta patriotik yang lebih besar.

"Tidak ada rasa patriotisme sebelum pemerintahan Bolsonaro, karena pemerintahan kiri tidak memakai bendera kami," kata Adriana Moraes do Nascimento, 49, kepada BBC.

"Puji Tuhan presiden kami mencintai Brasil dan dia telah menyimpan nilai-nilai ini untuk kita."

Bagi Adriana, kaus kuning sebelumnya hanya mengacu pada sepak bola, tapi kini kaus tersebut menunjukkan rasa cinta tanah air.

"Jika kaum kiri memenangkan pemilihan, bendera akan hilang sekali lagi," katanya. "Pernahkah Anda melihat bendera di tangan mereka? Tidak. Tapi itu tidak akan terjadi, karena Presiden Bolsonaro akan menang."

Ini adalah pertama kalinya pemilihan presiden Brasil begitu erat kaitannya dengan Piala Dunia, baik dalam lini waktu maupun dalam diskusi sosial.

Profesor Gamba Torres mengatakan orang Brasil perlu memisahkan kostum timnas dengan politik.

"Kaus hanyalah kaus," katanya.

Tentu saja kaus memiliki arti, tetapi pada akhirnya kaus tidak mewakili satu pemerintahan tertentu. Pemerintah datang dan pergi, tetapi negara dan tim kami akan selalu ada."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI