Suara.com - Bencana stadion terburuk di dunia terjadi di ibu kota Peru, Lima, pada 1964 silam. Lebih dari 300 orang tewas - namun cerita lengkapnya tidak diketahui, dan mungkin tidak akan pernah.
"Polisi tidak melepas anjing mereka tetapi membiarkan mereka merobek pakaiannya," kenang Hector Chumpitaz, salah satu legenda sepak bola Peru, yang saat itu sedang bermain dan menyaksikan awal mula tragedi tersebut.
"Orang-orang semakin terganggu dengan cara polisi membawa pergi seorang penonton yang menerobos ke lapangan. Itu membuat mereka marah.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka mengeluarkan dia dari lapangan dengan cara yang damai, tetapi kita tidak bisa memikirkan itu sekarang."
Baca juga:
- Pemerintah minta kepolisian segera menetapkan tersangka dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan
- 'Suara tembakan gas air mata banyak banget, penonton ada yang diinjak', kesaksian penonton Arema-Persebaya yang berujung pada kerusuhan
- Tiga hal penting dalam penyelidikan Tragedi Kanjuruhan, 'Sudah bubar karena anjing pelacak, kenapa lempar gas air mata ke tribun?'
Chumpitaz kemudian tampil lebih dari 100 kali bersama timnas Peru. Ia menjadi kapten tim di Piala Dunia 1970 dan 1978, tetapi ia hampir berhenti bermain sepak bola setelah pertandingan bencana ini, pada awal karier internasionalnya.
Saat menjamu Argentina pada 24 Mei 1964, Peru sedang berada di urutan kedua dalam klasemen sementara turnamen kualifikasi Olimpiade grup Amerika Selatan.
Mereka cukup percaya diri. Namun lantaran Brasil menanti di pertandingan terakhir mereka, Peru perlu setidaknya hasil imbang melawan Argentina.
Stadion penuh sesak dengan kapasitas 53.000 orang, sedikit di atas 5% dari populasi Lima pada saat itu.
Baca Juga: Pemerintah Bentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan
"Meskipun kami bermain bagus, mereka memimpin," kenang Chumpitaz.
"Kami menyerang, mereka bertahan dan terus berlanjut sampai suatu saat bek lawan hendak membuang bola - dan pemain kami, Kilo Lobaton, mengangkat kakinya untuk memblokir dan bolanya mental masuk ke gawang - tetapi wasit mengatakan itu adalah pelanggaran, jadi golnya tidak sah. Inilah sebabnya para penonton mulai kesal."
Dengan cepat, dua penonton memasuki lapangan. Yang pertama adalah seorang petugas keamanan yang dikenal sebagai Bomba; ia mencoba memukul wasit namun dihentikan oleh polisi dan diseret ke luar lapangan.
Orang kedua, Edilberto Cuenca, mengalami serangan brutal.
"Polisi kami sendiri menendangnya dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh. Inilah yang membangkitkan kemarahan semua orang - termasuk kemarahan saya," kata salah satu penggemar di Estadio Nacional hari itu, Jose Salas.
Dalam hitungan detik, massa melempar berbagai benda ke arah polisi. Beberapa puluh orang lagi berusaha mencapai lapangan. Membaca suasana hati, Salas dan teman-temannya memutuskan untuk pergi.
"Kami berlima menuruni tangga untuk turun ke jalan - seperti yang dilakukan banyak orang lain - tapi pintu gerbang keluar ditutup," katanya.
"Jadi kami putar arah dan mulai naik tangga lagi, dan saat itulah polisi mulai melempar gas air mata. Waktu itu orang-orang di tribun berlari ke terowongan untuk menghindar - tempat mereka bertemu kami - sehingga terjadi desak-desakan."
Salas berada di tribun utara, tempat jumlah tabung gas air mata paling banyak jatuh - antara 12 dan 20.
- Tragedi Stadion Kanjuruhan- Apa yang sebenarnya terjadi?
- Tragedi Kanjuruhan: Tiga hal penting dalam penyelidikan
- Gas air mata: Fakta-fakta tentang penggunaannya terhadap massa di Stadion Kanjuruhan
Salas merasa ia menghabiskan sekitar dua jam di antara kerumunan manusia yang perlahan-lahan menuruni tangga. Kerumunan begitu padat, katanya, sehingga kakinya tidak menyentuh lantai sampai dia berakhir di bagian bawah, terperangkap dalam tumpukan mayat, beberapa hidup dan beberapa lainnya meninggal.
Catatan resmi menyatakan sebagian besar korban meninggal karena sesak napas. Namun yang membuat bencana stadion ini berbeda dari yang lain ialah apa yang terjadi di jalanan di luar stadion.
Beberapa penggemar yang sudah lebih dahulu keluar dari stadion berhasil membuka gerbang dan membebaskan mereka yang terperangkap di dalam, sementara sebagian lainnya terlibat dalam bentrokan dengan polisi bersenjata.
"Beberapa pemuda dari kompleks perumahan saya lewat dan melihat saya. Saya agak kurus, dan akhirnya mereka menarik saya keluar," katanya.
"Tapi kemudian penembakan dimulai dan mereka langsung berlari. Peluru di mana-mana. Saya mulai berlari dan tidak melihat ke belakang."
Selama kurun waktu tersebut, Chumpitaz juga tidak bisa pergi.
"Setelah kami sampai di ruang ganti, beberapa orang pergi ke luar dan ketika kembali mengatakan sudah terjadi dua kematian. 'Dua kematian?' tanya kami. Satu saja sudah banyak. Kami tinggal di dalam ruang ganti selama dua jam sebelum kami bisa pergi, jadi kami tidak tahu skala peristiwa yang sedang terjadi.
"Dalam perjalanan pulang ke tempat latihan, kami mendengarkan radio dan mereka mengatakan ada 10, 20, 30 kematian. Setiap kali ada berita, jumlahnya meningkat: 50 kematian, 150, 200, 300, 350."
Jumlah resmi mereka yang tewas adalah 328 orang, tetapi ini mungkin estimasi yang terlalu rendah, karena belum termasuk mereka yang tewas terkena tembakan.
Ada banyak laporan saksi mata tentang orang-orang yang meninggal karena luka tembak, tetapi hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki bencana itu, Hakim Benjamin Castaneda, tidak pernah dapat menemukan mayat-mayat itu untuk membuktikannya.
Mendengar dua mayat dengan luka tembak di Rumah Sakit Lima Loayza, ia bergegas untuk memeriksanya, katanya kepada saya ketika saya mewawancarainya 14 tahun yang lalu. Saat ia tiba, sebuah kendaraan baru saja pergi.
"Sesampainya di kamar mayat, saya bertemu seseorang yang saya kenal," katanya. "Saya bertanya kepadanya apakah ada dua mayat dengan luka peluru. ' Ya,' dia mengatakan kepada saya, 'tetapi mereka baru saja mengambilnya.'"
Beberapa bulan setelah tragedi itu, Castaneda didatangi oleh seorang pria tua yang mengatakan kedua putranya, keduanya mahasiswa kedokteran, telah berangkat dari provinsi untuk menonton pertandingan dan tidak pernah kembali.
"Meskipun dia sudah mencari nama mereka di antara daftar korban tewas, dia tidak dapat menemukan mereka," kata Castaneda kepada saya.
"Dia telah melakukan penyelidikan lebih lanjut, tetapi tidak menemukan apa pun. Jadi saya mengatakan kepadanya bahwa saya punya berita beberapa orang meninggal setelah ditembak dan bahwa, sayangnya, saya tidak akan pernah dapat menemukan identitas mereka karena semuanya telah disembunyikan dari saya."
Dalam laporannya, Castaneda mengatakan jumlah korban tewas yang diberikan oleh pemerintah tidak "mencerminkan jumlah korban yang sebenarnya, karena ada kecurigaan yang kuat tentang pemindahan rahasia mereka yang terbunuh oleh peluru".
Ia kemudian menuduh menteri dalam negeri saat itu mendalangi masuknya penonton ke lapangan serta polisi merespons dengan brutal guna menghasut kerumunan supaya melakukan kekerasan - sehingga menjadi alasan melakukan tindakan kejam.
Pertunjukan kekuatan itu dimaksudkan, kata Castaneda, untuk "membuat masyarakat belajar, dengan darah dan air mata" bahwa ada risiko jika menentang pihak berwenang.
Sementara itu pihak pemerintah menyalahkan kelompok agitator Trotskyis.
Jorge Salazar, seorang jurnalis dan profesor yang menulis buku tentang bencana itu, mengatakan masyarakat Peru pada saat itu sedang sangat bergejolak.
"Itu tahun enam puluhan, masanya the Beatles, Fidel Castro lagi mode - semuanya di dunia berubah ," katanya.
"Di Peru, orang-orang untuk pertama kalinya bicara tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan buruh dan partai komunis. Kelompok-kelompok kiri cukup kuat, dan selalu terjadi bentrokan antara polisi dan rakyat."
Banyak penggemar sepak bola yang lolos dari gas air mata, tampaknya ingin membalas dendam pada polisi. Dua polisi dilaporkan tewas di dalam stadion, dan pertempuran berlanjut di jalan-jalan di luar.
Lima puluh tahun kemudian, anggota Kongres Peru Alberto Beingolea, meminta rakyatnya mengheningkan cipta selama satu menit untuk menghormati korban tewas. Dia meragukan kalau kekerasan itu telah direncanakan sebelumnya oleh pemerintah atau kaum revolusioner.
Tapi ia tidak menepis gagasan bahwa ada orang-orang yang meninggal karena luka tembak.
"Dua kematian seperti itu mungkin terjadi, terutama jika Anda berada dalam iklim kekacauan - seperti yang terjadi di era itu," katanya. "Ketika seseorang menyebabkan kekacauan, polisi harus merespons - dan kapan saja, itu dapat mengakibatkan penembakan."
Peru tidak pernah melakukan upaya serius untuk mengusut tuntas penyebab bencana di Estadio Nacional, dan ini mungkin tidak akan pernah terjadi.
Yang kita ketahui adalah bahwa mereka yang dihukum dapat dihitung dengan dua jari.
Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.
Terhukum lainnya adalah Hakim Castaneda sendiri. Ia didenda karena terlambat menyerahkan laporannya enam bulan, dan karena gagal menghadiri semua 328 otopsi seperti yang seharusnya dia lakukan. Laporannya ditolak.
Sekarang, Castaneda sudah meninggal.
Ia berkata kepada saya pada tahun 2000: "Saya bertanya di mana-mana tentang mayat-mayat itu tetapi tidak pernah menemukan apa pun. Mereka mengatakan - tanpa konfirmasi resmi dalam bentuk apa pun - mereka dikebumikan di Callao."
Kepala Institut Olahraga Peru - salah satu dari empat peraih medali Olimpiade negara itu, Francisco Boza - melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, yaitu menghubungi keluarga yang terdampak tragedi tersebut dan mengundang mereka ke misa yang sudah lama tertunda di Katedral Lima.
Namun masih belum ada plakat yang dipajang di Estadio Nacional untuk memperingati mereka yang tewas dalam bencana paling mematikan sepanjang sejarah sepak bola.
Wawancara dengan Benjamin Castaneda, Jose Salas dan Jorge Salazar dilakukan pada tahun 2000