Suara.com - Kapolri didesak memeriksa dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan anggotanya ketika menangani massa penonton di dalam Stadion Kanjuruhan, Malang.
Dugaan pelanggaran prosedur itu mencakup penggunaan kekerasan dan penembakan gas air mata di ruang tertutup yang memicu kepanikan orang-orang sampai berdesak-desakan mencari pintu keluar, kata Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Sejalan dengan YLBHI, pengamat sepak bola Tomy Apriantono mengatakan penggunaan gas air mata sudah dilarang oleh FIFA karena berbahaya.
Akibat insiden ini pun, dia memperkirakan Indonesia akan batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan, bahkan tidak bisa mengirim tim ke Piala Asia.
Baca Juga: Ratusan Suporter Lampung Hidupkan Lilin Tanda Duka Cita Tragedi Kanjuruhan
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri, PSSI, dan Menpora untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Tragedi itu menewaskan 125 orang dan menjadikannya sebagai bencana sepak bola terbesar ketiga di dunia.
Baca juga:
- Fakta-fakta tentang gas air mata di balik kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
- 'Hari gelap dalam dunia sepak bola', FIFA dan klub Liga Primer Inggris ungkap duka mendalam atas kerusuhan tragis di Stadion Kanjuruhan
- Tiga hal penting dalam penyelidikan Tragedi Kanjuruhan, 'Sudah bubar karena anjing pelacak, kenapa lempar gas air mata ke tribun?'
Apa yang terjadi di dalam stadion?
Laga antara Arema melawan Persebaya, menurut Aremania --julukan suporter Arema FC-- seperti pertaruhan harga diri.
Seorang Aremania, Muhamad Dipo Maulana, mengatakan menghadapi musuh bebuyutan dari Surabaya itu "haram hukumnya untuk kalah".
Apalagi selama 23 tahun berhadapan, tak pernah sekalipun Persebaya menang di kandang Arema.
Baca Juga: 8 Dari Ratusan Aremania yang Tewas Dalam Tragedi Kanjuruhan Malang Warga Pasuruan
Pada pertandingan yang berlangsung pada Sabtu (01/10) malam, suasana di dalam Stadion Kanjuruhan relatif aman lantaran tidak ada suporter tamu yang datang.
Namun begitu peluit panjang ditiup dengan hasil kekalahan 2-3, sekitar enam penonton masuk ke lapangan dan mendekati pemain Arema untuk meluapkan protes. Tapi mereka langsung dicegat polisi, kemudian dipukul sampai jatuh.
"Enam anak itu saya lihat tidak main fisik ke pemain, tapi protes di depan muka. Mungkin di situ polisi kira anarkis, terus satu polisi pukul anak itu sampai jatuh. Otomatis satu stadion lihat, makin panas tribun 12 dan turun semua," ujar Dipo kepada BBC News Indonesia, Minggu (02/10).
Banyaknya penonton turun ke lapangan membuat polisi yang membawa tameng dan kayu serta beberapa tentara maju untuk mengusir massa keluar lapangan.
Akan tetapi, menurut pengamatan Dipo, hal itu tak membuat massa berhenti. Mereka justru semakin menyerang polisi.
"Ada beberapa anak yang ketinggalan di antara kepungan polisi, diinjak, dipukul, dijambak, makin panas situasi semakin diserang sama penonton. Jadi serang balik, maju mundur-maju mundur gitu."
Kejadian berikutnya, polisi menembakkan gas air mata ke massa yang berada di lapangan. Sasaran setelahnya ke tribun 12 yang berada di sebelah selatan gawang. Kemudian, "merata ke semua tribun ditembak [gas air mata]".
"Saya dengar 20 kali lebih tembakan. Suara tembakannya enggak bisa dihitung dor..dor..dor..! benar-benar kencang dan banyak banget."
Dia menggambarkan situasi di dalam stadion seperti kebakaran karena asap membumbung.
Dipo juga menyaksikan bagaimana orang-orang kocar-kacir, panik, dan berusaha keluar dari stadion setelah terkena gas air mata. Bahkan ia melihat ada yang tergeletak tak sempat menyelamatkan diri. Padahal di tribun, banyak anak-anak dan orangtua, perempuan, dan anak muda.
Sementara pintu keluar stadion tak kunjung dibuka demi menjaga tim Persebaya lolos dari amukan Aremania."Pintu keluar stadion itu kan kecil, orang-orang mau buru-buru keluar karena kepedihan mata kena asap gas. Bahkan ada yang belum sempat lari tergeletak karena enggak kuat."
'Penggunaan gas air mata di ruang tertutup memicu kepanikan orang'
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai aparat keamanan melanggar lima aturan Kapolri.
Dua aturan yang paling kentara adalah pedoman pengendalian massa seperti yang tercantum dalam Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 dan Perkapolri Nomor 01 Tahun 2009 soal penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Dalam dua aturan itu, ada enam tahapan penggunaan kekuatan polisi. Mulai dari perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; pemakaian senjata tumpul dan kimia seperti gas air mata; dan terakhir menggunakan senjata api.
Kalau merujuk pada Perkapolri tersebut, kendali dengan gas air mata ditujukan kepada pelaku kejahatan atau pengunjuk rasa.
Itu mengapa, menurut Isnur, penggunaan gas air mata tidak tepat dilakukan. Apalagi di ruang-ruang tertutup seperti stadion karena pasti memicu kepanikan orang.
"Gas air mata itu untuk memecah kerumunan. Sedangkan tribun itu bukan kerumunan, mereka melihat pertunjukan, bukan ditujukan menyerang. Stadion kalau mau dibubarkan ya matikan saja lampu, bubar semua."
"Coba saja polisi dilempar gas air mata di kantornya, memang jadi tenang? Pasti panik dan keluar ruangan."
Baca juga:
- Duka mengalir dari Manchester hingga Madrid untuk korban tragedi Stadion Kanjuruhan Malang
- Tragedi sepak bola menyusul pertandingan Arema-Persebaya, salah satu insiden paling fatal di dunia, dalam gambar
Isnur mendesak Kapolri mengevaluasi anak buahnya dan tidak langsung percaya pada klaim Kapolda Jawa Timur yang menyebut penggunaan gas air mata di stadion Kanjuruhan sudah sesuai prosedur.
"Sesuai prosedur apa? Nggak ada itu. Jelas melanggar hukum bahkan bisa dikenakan pasal-pasal yang berpotensi membunuh orang."
Dia juga menjelaskan, aturan FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Nico Afinta memastikan bahwa penembakan gas air mata kepada suporter Aremania di atas tribun saat terjadi kericuhan sudah sesuai prosedur.
Menurut Nico, hal itu sebagai upaya menghalau serangan suporter yang merangsek turun ke lapangan dan berbuat anarkis.
Sehingga, para suporter berlarian ke salah satu titik di pintu 12 Stadion Kanjuruhan. Saat terjadi penumpukan itulah banyak yang mengalami sesak napas," ungkapnya dalam konferensi pers di Mapolres Malang, Minggu (2/10) pagi.
Apa sanksi yang bakal dijatuhkan FIFA?
Sekretaris Jenderal PSSI, Yunus Nusi, mengatakan pihaknya bersama Anggota Komite Eksekutif (Exco), PT Liga Indonesia Baru, dan Komite Yudisial sedang melakukan investigasi.
Namun demikian, katanya, dalam sebelum pertandingan PSSI selalu melakukan pertemuan dan menyampaikan standar operasional sebuah kompetisi bersama panitia pelaksana, klub, dan tim.
"Makanya kami akan evaluasi dan kaji kembali kompetisi Liga 1 dan kompetisi lainnya," ujar Yunus Nusi kepada wartawan.
Dia juga berkata, PSSI telah berkomunikasi terus-menerus dengan FIFA terkait tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
"Kita berharap ini tidak menjadi rujukan FIFA untuk mengambil keputusan yang tidak menguntungkan untuk Indonesia dan PSSI. Kami sudah sampaikan laporan ini bukan kerusuhan atau perkelahian antarsuporter. Ini kejadian lebih kepada tertumpuknya penonton, desak-desakan dan akhirnya terinjak."
Adapun soal penghentian sementara Liga 1, masih akan "melihat perkembangan," kata Yunus. Bila diharuskan memperpanjang waktu penundaan, maka hal itu akan diterapkan.
Sementara itu, pengamat sepak bola Tomy Apriantono memprediksi Indonesia akan batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan, bahkan tidak bisa mengirim tim ke Piala Asia sebagai imbas peristiwa di Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang dan melukai 323 orang.
"Kalau FIFA melakukan investigasi dan fatal, ya terancam dibatalkan Piala Dunia U-20 tahun depan. Kemungkinan paling berat tidak boleh jadi tuan rumah perhelatan sepak bola karena takut ada apa-apa atau mereka yang supervisi langsung," ujar Tomy Apriantono kepada BBC News Indonesia.
Dia juga menyarankan PSSI agar melibatkan sosiolog dan pakar psikologi dalam proses evaluasi. Sebab kejadian suporter bertindak vandalisme atas kekalahan timnya, kerap terjadi.
"Ini kan bukan hanya masalah kalah menang, ini masalah karakter penonton."
Harapannya dengan evaluasi menyuluh seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi, ada perbaikan dan menjadi pembelajaran agar tidak terulang di masa mendatang. Asalkan, prosesnya tidak ada yang ditutup-tutupi.