Suara.com - Suporter Arema FC mengecam keras anggota kepolisian yang melakukan penembakan gas air mata ke tribun penonton saat Arema melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022) malam yang berujung kerusuhan maut.
Anggota Aremania, kelompok suporter Arema FC, yang biasa nongkrong di kawasan Blok M Jakarta Selatan, Galih (30) menyayangkan insiden ini.
Pasalnya, insiden penembakan gas air mata ke tribun penonton yang dilakukan oleh aparat bukan kali pertama terjadi di Kanjuruhan.
Sebelumnya pada 2018 lalu, saat Arema melawan Persib Bandung, insiden serupa juga pernah terjadi. Namun, insiden 2018 memang tidak separah sekarang yang sampai menelan 170 lebih korban jiwa.
Baca Juga: Arema FC soal Polemik Kick-off Malam Hari: PT LIB yang Menolak Perubahan Jadwal
“Itu nggak manusiawi ya, tembakan gas air mata. Kalau dulu pintu keluar masih dibuka, tapi yang sekarang kan cuma pintu 10 dan 12 (di Kanjuruhan) aja (yang dibuka),” kata Galih kepada Suara.com, Minggu (2/10/2022).
Sementara itu, anggota Aremania lainnya yang berdomisili di Jakarta, Salim (55) mengatakan kejadian ini sama sekali tidak dapat dibenarkan lantaran merujuk aturan FIFA, penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di dalam stadion memang dilarang.
Loh kan FIFA juga udah melarang. Dan ini bukan pertama kali, udah sering banget petugas nembakin gas air mata ke arah penonton,” kata Salim.
Salim menuturkan, aparat perlu melihat dengan perspektif yang lebih luas. Bahwasanya di tribun stadion sepak bola, bukan hanya pria dewasa yang berada di sana, melainkan banyak juga wanita dan anak kecil.
“Kita sebagai warga Malang asli sedih lah. Kita lihat saudara-saudara kita sampai sebegitu banyaknya meninggal. Kita priharin juga kenapa bisa sebanyak itu juga (yang meninggal dunia). Masa nyawa manusia kayak binatang aja, nggak ada rasa prikemanusiaannya,” kecam Salim.
Salim menambahkan, sebelum pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur tersebut bergulr, ia memprediksi jika pertandingan memang bakalan tidak kondusif lantaran jam kick-off yang terlalu malam.
“Kalau sudah malam kan gesekan lebih mudah terjadi, baik di dalam (stadion) maupun di luar,” kata Salim menyayangkan.
Namun jika pertandingan dengan tensi tinggi tersebut dapat dihelat pada sore hari, gesekan dapat lebih diminimalisir.
“Ya kalo bisa itu sore lah. Kendaraan umum juga kan masih ada. Kalo malam kan rawan kejahatan,” pungkasnya.