Suara.com - Setelah tersingkir dari Piala AFF U-19 karena kalah head-to-head dari Vietnam dan Thailand, muncul wacana agar Timnas Indonesia pindah dari AFF (Konfederasi Sepakbola Asia Tenggara) ke EAFF (Konfederasi Sepakbola Asia Timur).
Vietnam dan Thailand dianggap tidak sportif karena tak berusaha mencetak gol setelah sama-sama mencetak satu gol agar Indonesia yang menghadapi Myanmar dalam jam yang sama, tidak lolos ke semifinal turnamen U-19 itu.
PSSI lalu melayangkan nota protes kepada AFF beserta sejumlah bukti termasuk video pertandingan mereka dan ucapan pelatih fisik timnas U-19 Vietnam Le Cao Cuong bahwa Vietnam dan Thailand "berteman" selama 15 menit terakhir laga tersebut.
AFF belum menjawab nota protes itu. Tapi match-fixing di Asia Tenggara dan juga Asia lebih sering tak bisa dituntaskan. Tahun lalu saja, menurut Sportradar, ada 161 pertandingan olahraga di Asia, tidak cuma sepak bola, yang diduga match-fixing.
Indonesia tampaknya tak sabar menantikan tindak lanjut nota protes kepada AFF itu, sampai Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan mengaku sudah berkomunikasi dengan EAFF mengenai niat Indonesia pindah dari AFF.
"Mereka (EAFF) senang kalau kami bergabung ke sana. Namun, kami mesti menghitung terlebih dahulu," kata Iriawan.
Tak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika didasari alasan agar mendapatkan zona yang lebih kompetitif demi meningkatkan kualitas sepak bola nasional.
Sekedar contoh, Australia melakukan langkah seperti ini ketika menyeberang dari Oseania ke Asia (AFC) pada 2006.
Australia memiliki liga sepak bola profesional yang kuat sehingga tim nasional yang terbentuk pun lumayan tangguh. Tetapi Oseania tak memberikan atmosfer kompetisi yang bisa menguji kekuatan Australia.
Baca Juga: Bima Sakti Janji Timnas Indonesia Main High Pressing di Piala AFF U-16 2022
Karena atmosfer itu pula Australia sering tersisih dalam berebut tiket putaran final Piala Dunia melawan tim-tim benua Amerika.