Suara.com - Siapa sangka lari dari peperangan dari negaranya, Sudan, membuat Friday Zico tumbuh dewasa dengan Manchester United hingga menjadi seorang pesepak bola profesional di Australia.
Lahir di Sudan Selatan pada November 1994, Friday Oyele Zico Paul tumbuh di lingkungan keras di sebuah kota kecil bernama Magwi.
Friday Oyele Zico Paul merupakan bagian dari suku Acholi, salah satu suku dari 162 suku yang membentuk Sudan Selatan, berasal dari Khatulistiwa Timur.
Zico kecil hidup dengan ketakutan yang sangat amat karena perang konflik antara pemberontak yang kerap menculik anak-anak muda untuk dijadikan sebagai tentara.
Baca Juga: Man United vs Man City: Ole Punya Rekor Impresif saat Jumpa Guardiola
Dilansir dari Planet Football, Zico salah satu dari anak yang ditangkap untuk kemudian dijadikan budak dari rezim Joseph Kony, pemberontak sekaligus pembunuh.
"Suku kami telah mengalami perang saudara. Pemberontak menculik anak-anak dan mengubah mereka menjadi tentara," ucap Zico.
"Saya adalah salah satu dari mereka yang ditangkap oleh Joseph Kony, pemimpin Lord Resistance Army, pembunuh jutaan orang dan terus meningkat," imbuhnya.
Suku Acholi pada dasarnya merupakan orang-orang baik yang rela bekerja keras demi menyambung hidup, bekerja di sektor pertanian.
Kemudian hasil panen dijual dan keuntungan dari penjualan itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, namun Zico terpaksa meninggalkan kota kelahirannya.
Baca Juga: Prediksi Manchester United vs Manchester City di Liga Inggris, 6 November 2021
Ia melarikan diri dari Magwi pada 2004 ke Uganda, sebelum akhirnya mencari suaka dan diterima oleh pemerintah Australia.
"Usai tiba di Uganda, kami menjadi pengungsi dan pemerintah Australia menerima kami. Saat itu, John Howard adalah perdana menterinya," ujar Zico.
"Kami dibawa ke Perth, Australia. Kami tidak terlalu banyak bertanya tentang ke mana kami akan pergi selama kami tahu itu aman untuk ditinggali," imbuhnya.
Singkat cerita Zico tumbuh besar di Australia dan mengenal sepak bola, ia bahkan bermain untuk beberapa klub lokal di Perth.
Sudan Selatan yang merdeka pada 2011 mencoba membangun sepak bola, namun perang kembali pecah pada 2013 dengan ketakutan yang dirasakan semua masyarakat, termasuk di Magwi.
Pada 2015, Zico dipanggil negara kelahirannya untuk membela tim nasional setelah 10 tahun pergi dari negara tersebut.
Diakui olehnya hal itu bukan keputusan yang mudah, kembali ke negara asal dengan penuh risiko dan nyawa sebagai taruhannya.
"Bukan keputusan yang mudah untuk kembali ke Sudan Selatan setelah mengetahui apa yang terjadi di sana," kata Zico.
"Negara ini belum stabil dan berisiko. Saya berbicara dengan begitu banyak orang untuk kembali ke sini karena kami sebenarnya diminta kembali pada 2012.
"Sebelum perang saudara pecah. Ribuan orang dibiarkan mati dan ketika itu terjadi, kami terlalu takut untuk kembali," imbuhnya.
Terlepas dari itu, talenta Zico sebagai pesepak bola andalan Sudan Selatan tak lepas dari binaan yang diterima dari Manchester United.
Selama kurang lebih tiga bulan, Zico menimba ilmu dengan klub berjuluk Setan Merah itu sebelum benar-benar melanjutkan kariernya di Australia.
Andai tak terganjal izin kerja, saat ini Zico mungkin sudah menjadi pemain andalan The Reds Devil asuhan Ole Gunnar Solskjaer.
"Saya punya kesempatan mencoba keberuntungan di Manchester United. Saya pikir David Moyes adalah pelatihnya, itu sekitar akhir 2013," ucap Zico lagi.
"Dan saya bermain dalam pertandingan untuk Stockport di Manchester melawan Fleetwood Town. Saya dibina selama tiga bulan atau lebih oleh staf mereka."
"Sungguh luar biasa, saya dihargai sangat tinggi, itu satu hal positif yang akan selalu saya bawa. Sayangnya, saya tidak memperoleh izin kerja."
"Sementara, saya harus pergi dan menghabiskan waktu bersama tim U-21 pada 2013." imbuhnya.
Kontributor: Eko Isdiyanto.