Suara.com - Sejak kecil Naby Keita sudah mengenakan jersey Liverpool. Namun, tak sedikit pun terbesit di benaknya jika dia bisa benar-benar berstatus sebagai pemain The Reds.
Tiga tahun silam, mimpi Naby Keita berseragam Liverpool terwujud. Liverpool memboyongnya dari LB Leipzig dengan biaya transfer yang cukup fantastis, yakni mencapai 52,75 juta poundsterling.
Bagi gelandang asal Guinea itu, bermain untuk Liverpool menjadi salah satu impian yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Sebab, pemain yang memiliki sederet kemampuan untuk menjadi gelandang box-to-box berkualitas ini sudah menghadapi tantangan yang berat untuk sekedar melanjutkan hidupnya.
Baca Juga: Skuad Sarat Kualitas, Arsene Wenger Percaya Manchester United Masih Bisa Juara
Naby Keita yang lahir di Conarky, Guinea, menjalani kehidupan berat sejak kecil. Hidup di tengah kemiskinan serta lingkungan yang penuh dengan konflik politik, menjadi jalan terjal yang harus dilaluinya setiap hari.
Untuk sekedar bermain sepak bola pun, Keita menghadapi banyak kendala. Salah satunya bermain tanpa sepatu sepak bola yang layak untuk melindungi kakinya.
Namun demikian, segala keterbatasan yang muncul akibat hidup di tengah kemiskinan itu telah membuat sosok Keita seperti sekarang ini.
“Kami bermain dengan apa pun yang kami bisa dan saya sempat tak menggunakan sepatu apa pun untuk melindungi kaki saya. Terkadang, saya hanya bermain dengan sepatu rusak yang sudah sangat tua,” kata Keita, dikutip dari Goal.
“Saya tidak memiliki sepatu sepak bola, atau pun jersey sepak bola yang diberikan kepada saya,” ia melanjutkan.
Baca Juga: Termasuk Pogba, Tiga Pemain Ini Tak Lagi Dipercaya Solskjaer?
“Semua itu telah membantu saya untuk mempersiapkan diri menjadi pesepak bola profesional seperti sekarang ini. Saya juga tidak pernah takut pada apa pun di lapangan.”
Tantangan Naby Keita untuk bermain sepak bola pun menemui banyak kesulitan yang harus dihadapi.
Sebab, saat berada di atas lapangan, dia harus berjuang hingga berdarah-darah untuk sekedar mendapat kesempatan bermain.
Namun, bagaimanapun juga, segala keterbatasan itulah yang membantunya menjadi sosok petarung tangguh di atas lapangan seperti sekarang ini.
“Postur tubuh saya cukup kecil, sehingga saya juga harus berjuang untuk segalanya: kesempatan bermain, untuk bola, untuk mendapatkan respek. Itulah mengapa, mobil pun tak bisa menghentikan saya,” ujarnya.
“Dari situlah, agresi dalam permainan saya, yang sangat penting untuk posisi bermain saya saat ini berasal,” lanjutnya.
Pada usia sembilan tahun, Keita bernaung di Horoya AC, sebuah klub sepak bola lokal di daerahnya tersebut. Di klub itu pula, dia diakui sebagai pemain terbaik di komunitasnya.
Saat itu, Keita juga disarankan oleh pemandu bakat Afrika untuk pindah ke Eropa. Sebab, ini menjadi pilihan terbaiknya untuk bisa terpantau klub-klub besar di Benua Biru.
Awalnya, Keita tak begitu yakin dengan saran itu. Namun, saat ia mulai menonton pertandingan Liga Inggris di televisi saat berusia 12 tahun, dia ingin bermain di level tertinggi.
“Tidak mungkin melakukan itu di rumah. Jadi, jelas saya harus menguji diri saya ke Eropa,” kata Keita.
“Saya bertekad untuk menjadi pesepak bola, bukan hanya karena saya menyukai permainan ini, tetapi agar saya dapat menafkahi keluarga saya,” lanjutnya.
Begitu usianya sudah cukup dewasa, Keita mulai pergi ke Prancis, tepatnya saat berusia 16 tahun. Di sana, dia memulai sejumlah trial, tapi sempat gagal untuk menunjukkan bakatnya.
Pada titik itu, Keita mulai mempertanyakan apakah dia akan berhasil. Sebab, sejumlah klub di Prancis menolaknya. Salah satunya Lorient.
Terlepas dari bakat yang dimilikinya, Keita berasal dari sepak bola jalanan. Dia tak pernah sekali pun mendapatkan bimbingan secara formal untuk berlatih.
“Saya bertanya-tanya apakah saya akan berhasil Itu adalah masa-masa yang sulit. Saya tidak pernah mendapatkan sisi profesional dari permainan ini,” ujarnya.
“Saya tidak tumbuh di akademi, semua yang saya tahu berasal dari jalanan. Saya mendapatkan bola, saya akan berlari dengannya, menunjukkan beberapa keterampilan untuk mengalahkan pemain lawan dan mencetak gol,” ujarnya.
[Penulis: Muh Adif Setiawan]