Suara.com - Sepak bola tak hanya menampilkan soal hiburan semata. Banyak kisah kelam lahir dari lapangan hijau yang menyangkut para pemainnya.
Pada Juli lalu, sepak bola Uruguay berduka setelah dua pemain profesionalnya meninggal dunia dengan cara bunuh diri dalam kurun waktu satu minggu.
Motif mengakhiri nyawa sendiri yang dilakukan dua pemain ini diduga karena depresi yang diderita keduanya.
Kabar pertama dialami Williams Martinez. Pemain berusia 38 tahun ditemukan tak bernyawa di apartemennya pada 17 Juli 2021.
Baca Juga: 5 Top Bola Sepekan: 10 Pesepak Bola Termahal ASEAN Saat Ini, Nomor 6 dari Indonesia
Menurut media setempat, ia mengakhiri hidupnya sendiri di apartemennya karena depresi akan karier sepak bolanya kala itu.
Tak sampai seminggu kemudian, Uruguay kembali kehilangan pemain profesionalnya yakni Emiliano Cabrera yang ditemukan meninggal dunia dengan cara bunuh diri pada 22 Juli 2021.
Lagi-lagi depresi menjadi penyebab dirinya mengakhiri nyawanya. Dilaporkan, Cabrera depresi akibat masalah keluarga yang pelik.
Jauh sebelum keduanya, pada Februari lalu Uruguay juga sempat dikejutkan dengan meninggalnya Santiago Garcia. Ia mengakhiri nyawanya sendiri dengan motif yang sama yakni depresi.
Padahal, saat itu Garcia berada di puncak kariernya bersama tim Argentina, Godoy Cruz. Namun, kepopuleran dan karier cemerlang tak menjamin seorang pesepak bola terhindar dari depresi.
Baca Juga: Temui Komisi X DPR, APPI Berharap Pesepak Bola Jadi Profesi yang Diakui Pemerintah
Maraknya Depresi di Kalangan Pesepak Bola
Tak terhitung berapa banyak pesepak bola yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri akibat depresi dalam beberapa tahun terakhir.
Selain tiga nama dari Uruguay tersebut, beberapa pesepak bola tenar seperti Gary Speed dan Robert Enke juga harus meninggal dunia dengan cara bunuh diri akibat depresi.
Maraknya pesepak bola yang bunuh diri karena depresi pun menimbulkan pertanyaan. Mengapa para pemain profesional bisa depresi?
Dikutip dari laman Spains News, dalam sebuah studi pada 2015 silam diketahui 38 persen pesepak bola mengalami penyakit mental seperti stres, perasaan cemas atau depresi.
“Seorang pemain sepak bola adalah seseorang yang beresiko jatuh ke dalam depresi,” tutur Mar Rovira, mantan pebasket profesional yang kini menjadi Psikolog.
“Penyebab depresi bersifat multifaktorial dan juga struktur kepribadian seseorang harus diperhitungkan. Dua komponen ini menyebabkan seseorang bisa mengalami depresi,” imbuhnya.
“Pemain sepak bola tidak terlindungi dari yang namanya ‘Hallo Effect’. Mereka muda, atletis, sukses, dan banyak uang. Tapi itu tak membuat mereka kebal,” pungkasnya.
Hallo Effect atau efek halo sendiri adalah istilah dalam bidang psikologi untuk menyebut suatu fenomena kemunculan penilaian terhadap seseorang pada kesan pertama.
Dalam dunia sepak bola, pecinta sepak bola akan melihat para pemain adalah sosok sempurna karena populer dan kaya. Nyatanya, sederet keuntungan tersebut tak membuat seorang pesepak bola bebas dari yang namanya tekanan.
Psikolog olahraga, Jose Carlos Jaenes, menyebutkan bahwa seorang atlet kompetitif seperti sepak bola, menjalani pekerjaan yang berat dan membutuhkan usaha maksimal.
Sehingga hal-hal di luar kehidupannya sebagai atlet dapat memberi efek kepada mental seorang atlet.
“Menjadi atlet yang kompetitif adalah pekerjaan berat. Tak semuanya soal medali, ada pengorbanan dan usaha yang keras. Atlet tak dipersiapkan menghadapi masyarakat, tekanan media,” ucap Jaenes.
“Mereka (atlet) tak dipersiapkan untuk gagal atau menghadapi waktu-waktu sulit. Ketika semua berjalan baik, maka semua akan terasa baik. Tapi ketika semua berjalan buruk, Anda butuh banyak alat.”
“Jika Anda tak belajar menggunakan mereka, ada atlet yang lemah akan mengalami waktu yang buruk,” pungkasnya.
Saat ini, ada nama Alvaro Morata yang hampir terjatuh dalam lubang depresi usai mendapat tekanan dari luar lapangan akibat performanya di lapangan.
Pada Euro 2020 lalu, ia mendapat cemoohan yang memberi efek ke mentalnya. Hingga akhirnya Morata buka suara terkait apa yang ia alami sehingga memberi peringatan bahwa depresi itu ada dan bisa menyasar ke para pesepak bola.
“Depresi sama buruknya dengan engkel yang patah. Para penyerang hidup dengan gol, itu tugas kami. Di laga terakhir (Spanyol melawan Italia) saya sangat lelah, tapi saya paham akan rekan saya di lapangan.”
“Tapi pada akhirnya, hanya gol yang diperhitungkan. Itu sedikit sulit, orang-orang bisa mengkritik kami tapi itulah yang kami asumsikan,” kata Morata dikutip dari Show Sport.
Kontributor: Zulfikar Pamungkas