Suara.com - Nadia Nadim adalah nama besar di dunia sepakbola wanita. Dia punya karier yang produktif baik bersama Timnas Denmark maupun klub-klub yang ia bela.
Bersama Denmark, dia telah mengemas 98 caps dan musim lalu, penyerang 33 tahun itu turut membantu tim putri Paris Saint-Germain (PSG) memenangi gelar Divisi 1 Liga Prancis perdana sepanjang sejarah.
Dalam prosesnya, pemain berdarah Afghanistan itu tampil produktif dengan mengemas 18 gol dalam 27 pertandingan di liga.
Nadim yang sempat membela Manchester City, Portland Thorns dan Fortuna Hjørring, harus diakui sebagai salah satu pesepakbola putri terbaik di dunia.
Baca Juga: Liburan Tanpa Ditemani Mauro Icardi, Wanda Nara Pamer Foto Topless
Namun siapa sangka, di balik kesuksesannya di dunia sepakbola, Nadia Nadim punya kisah kelam yang mungkin turut membentuk mentalitas juaranya saat ini.
Kembali pada tahun 2000, ketika dia baru berusia 11 tahun, Taliban membawa ayahnya dari Afghanistan yang dilanda perang ke gurun Karbala. Sejak saat itu, dia tak melihat lagi sosok sang ayah.
"Untuk waktu yang sangat lama, saya pikir dia akan muncul. Ayahku seperti pria tipe James Bond ini. Seperti bahan superhero," kata Nadia Nadim dikutip dari Sport Bible, Rabu (21/7/2021).
Rabani Nadim, ayah Nadia, adalah seorang jenderal tentara angkata darat Afghanistan. Dia dieksekusi Taliban saat mereka menguasai negara tersebut.
Sejak hari itu, Nadia melarikan diri dari negaranya dengan berjalan kaki, bepergian dengan identitas palsu dan berakhir di kamp pengungsi, sebelum takdir membawanya jadi pesepakbola.
Baca Juga: Ngebet Gabung Juventus, Mauro Icardi Rela Potong Gaji
"Saya ingin memberi tahu anak-anak dan perempuan, atau mereka yang telah melalui masa-masa kelam, bahwa tidak apa-apa. Kita semua pernah melalui masa-masa sulit. Anda mampu keluar darinya," terang Nadia Nadim.
Nadim lahir pada 2 Januari 1988, di Herat, Afghanistan. Dia dibesarkan di kota bersama ibu, ayah, dan empat saudara perempuannya, yang semuanya tinggal di daerah bersama keluarga presiden karena ayahnya memainkan peran penting dalam militer Afghanistan.
Itu aman dan terjamin sampai Taliban memperoleh kekuasaan ketika dia baru berusia 11 tahun.
"Itu benar-benar horor ... kekacauan. Anda mendengar cerita tentang kedatangan mereka. Mereka ingin membuat ketakutan di antara penduduk," kenang Nadia.
"Hal-hal yang mereka lakukan gila. Saya tidak melihat semuanya karena kami tidak diizinkan keluar karena ibu saya berusaha melindungi kami. tapi Anda bisa mendengar apa yang sedang terjadi."
Ketika Taliban terus menguasai negara itu, mereka memanggil Rabani Nadim ke sebuah pertemuan.
Selama enam bulan berikutnya, Nadia dan keluarganya tidak tahu apa yang terjadi pada pria yang mereka sebut ayah. Dia pikir dia akan dipenjara karena perannya di tentara.
Hingga suatu hari, ibunya, Hamida, mengetahui bahwa Rabani telah dibunuh.
"Seperti kebanyakan kediktatoran dalam sejarah umat manusia, jika Anda ingin mempertahankan kekuasaan Anda, Anda harus menyingkirkan siapa pun yang memiliki kekuasaan," jelasnya.
"Ketika Taliban memperoleh kekuasaan, salah satu hal pertama yang mereka lakukan adalah memenggal kepala orang-orang tertinggi di pemerintahan dan ayah saya adalah salah satunya."
Hidup tidak pernah sama lagi untuk keluarga Nadim setelah meninggalkan Afghanistan yang dilanda perang dan di antara semua ini, Nadia yakin bahwa ayahnya akan kembali.
"Sampai saya berusia 15 tahun, bahkan ketika kami berada di Denmark, di otak saya, saya selalu berpikir bahwa suatu hari dia akan muncul," kenang Nadia Nadim.
Secara total, Nadia, ibu dan lima saudara kandungnya tinggal di kamp pengungsian selama sembilan bulan.
"Bagi saya, itu adalah saat di mana saya bisa menjadi anak-anak lagi. Itu adalah lingkungan yang aman. Saya bisa keluar dan melakukan apa pun yang saya inginkan. Ibuku santai dan tahu tidak akan terjadi apa-apa pada kami."
Setelah membantu PSG menjadi juara liga musim lalu, Nadia Nadim kini memperkuat tim sepakbola putri Racing Louisville FC yang berkiprah di National Women's Soccer League Amerika Serikat.