Suara.com - Melihat Stadion Puskas Arena di Budapest, Hungaria, yang menggelar tiga pertandingan fase grup Euro 2020 bisa disesaki penonton tanpa masker dan tanpa menjaga jarak memang cukup mengherankan.
Tetapi situasi mengherankan yang terjadi di tengah pandemi itu bukanlah situasi yang tercipta tanpa alasan.
Badan sepak bola Eropa, UEFA, sebenarnya menganjurkan penonton pertandingan Euro 2020 di 11 stadion penyelenggara agar mematuhi protokol kesehatan.
Tapi, UEFA tak bisa bertindak jauh tatkala sudah menyangkut otoritas negara, walaupun UEFA menginginkan stadion-stadion diisi penuh oleh penonton.
Baca Juga: Rahasia Diet Cristiano Ronaldo Agar Selalu Bugar, Cola-cola Tak Masuk Menu
Ada 11 stadion di 11 kota di sepuluh negara yang menjadi tuan rumah Euro 2020; Wembley dan Hampden Park di Inggris Raya, Stadio Olimpico di Italia, Allianz Arena di Jerman, Estadio de La Cartuja di Spanyol, Johan Cruyff Arena di Belanda, Stadion Parken di Penmark, Puskas Arena di Hungaria, National Arena di Rumania, Gazprom Arena di Rusia, dan Stadion Olimpiade Baku di Azerbaijan.
Hanya Puskas Arena yang diisi penuh penonton. Yang lain kebanyakan tidak penuh dan bahkan mengharuskan penonton mengenakan masker dan menjaga jarak, termasuk Allianz Arena di Munich.
Pemerintah Hungaria bisa saja politis dalam membolehkan Puskas Arena diisi penuh, tapi tetap saja harus mengacu pada rekomendasi data dan fakta kesehatan, khususnya grafik infeksi COVID-19 dan tingkat vaksinasi di negara itu.
Lagi pula, yang dilakukan Hungaria itu pernah pula dilakukan China saat Imlek lalu dalam skala yang jauh lebih besar.
Tapi, seperti Hungaria, China melakukannya atas rekomendasi fakta-fakta kesehatan, bukan menyangkal adanya pandemi seperti sering digoreng para pemuja teori konspirasi yang anehnya tetap saja digandrungi oleh segelintir orang di Indonesia.
Baca Juga: Benzema Turuti Instruksi Ronaldo Saat Portugal Vs Prancis dan 4 Berita Bola Terkini
Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban yang penggemar berat sepak bola tersebut menginginkan ajang besar ini disaksikan langsung dengan riang gembira oleh rakyatnya, sebagai perayaan atas kedisiplinan mereka selama lockdown.
Bagi Orban sendiri, Euro 2020 adalah kesempatan guna menunjukkan negaranya berhasil mengalahkan COVID-19.
Kenyataannya, Hungaria memang relatif berhasil memerangi pandemi. Sebagian dari keberhasilan itu karena sikap Orban yang menolak mempolitisasi pandemi, termasuk politisasi vaksin oleh Uni Eropa.
Tegak Lurus dengan Tingkat Infeksi
“Nyawa manusia dan kesehatan itu di atas kepentingan politik dan oleh karena itu sangat tak bertanggung jawab jika vaksin dijadikan isu politik,” kata Orban kepada Uni Eropa yang lamban memberikan persetujuan penggunaan vaksin ketika vaksin buatan China dan Rusia sudah hadir di pasar.
Orban juga tak mau menunggu Uni Eropa. Maka, dia pesan lima juta dosis vaksin Sinopharm dari China dan dua juta dosis vaksin Sputnik V dari Rusia. Februari 2021, vaksin-vaksin itu disuntikkan kepada rakyatnya.
Hungaria pun menjadi satu-satunya negara anggota Uni Eropa yang mengakui dan menyuntikkan vaksin Rusia dan China sebelum Badan Obat-obatan Eropa (EMA) merekomendasikan penggunaannya.
Tapi apa pun alasannya, vaksinasi yang cepat di Hungaria itu menuai hasil, sampai gelombang kedua pandemi pun tak mempan di Hungaria. Negeri ini adalah salah satu negara dengan tingkat kematian COVID-19 per 100.000 orang yang paling rendah di dunia.
Hungaria juga membuktikan ada korelasi kuat antara vaksin dengan penurunan kasus COVID-19.
Hungaria yang berpenduduk 9,7 juta orang adalah negara dengan program vaksinasi terluas kedua setelah Inggris, kecuali dibandingkan dengan negara-negara mini di Eropa seperti Gibraltar dan Malta.
Dari data laman Statista dan data Johns Hopskins University yang dianalisis ANTARA, sampai 21 Juni 2021, Hungaria sudah menyuntikkan rata-rata 95,74 dosis untuk setiap 100 penduduk. Artinya, hampir seratus persen penduduk Hungaria telah divaksin COVID-19.
Fakta ini tegak lurus dengan grafik infeksi Hungaria yang melandai. Rata-rata kasus infeksi baru di Hungaria dalam tujuh hari terakhir sampai per 23 Juni 2021, adalah 81 kasus.
Hungaria hanya kalah dari Inggris yang rata-rata sudah memberikan 109,86 dosis per 100 orang. Artinya, seluruh penduduk Inggris berjumlah 67 juta orang itu sudah disuntik vaksin minimal satu dosis vaksin.
Jerman, Italia, Spanyol, dan Belanda berada pada kisaran 75,45 sampai 79,32 dosis per 100 orang. Denmark dan Rumania antara 45 – 52 persen. Azerbaijan 29 persen, dan Rusia paling rendah 23,92 persen.
Dan kesepuluh negara penyelenggara Euro 2020 itu juga memiliki grafik infeksi yang melandai, bahkan kini mendatar. Artinya, penetrasi vaksin tegak lurus dengan berkurangnya angka infeksi.
Data interaktif yang dibuat Reuters (https://graphics.reuters.com/world-coronavirus-tracker-and-maps) menunjukkan kecuali Belarus dan Rusia, angka infeksi COVID-19 di Eropa umumnya menurun dan kebanyakan flat alias mendatar.
Efektivitas Vaksin
Bahkan angka kenaikan infeksi di Rusia yang sebesar 59 persen, masih lebih baik dibandingkan dengan Indonesia yang menurut data Reuters itu adalah salah satu negara dengan tingkat kenaikan infeksi di atas 90 persen dibandingkan dengan puncaknya sebelumnya, yang merupakan tingkat kenaikan paling tinggi yang diukur Reuters.
Sementara dari data Statista per 21 Juni, jumlah dosis per 100 orang yang diberikan di Rusia juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia yang baru 13,14 dosis per 100 orang, atau 13 persen saja.
Angka Indonesia ini juga masih lebih rendah dibandingkan dengan India yang dua bulan terakhir ditimpa gelombang ketiga, di mana sampai 23 Juni, India sudah menyuntikkan rata-rata 20,53 dosis kepada setiap 100 penduduk.
Ada kenaikan pada skala vaksinasi sebesar sembilan persen dalam kurun satu bulan setelah puncak gelombang ketiga terjadi yang membuat angka kasus infeksi baru di India melonjak sampai rata-rata 400 ribu kasus baru per hari.
Kini, angka itu turun drastis menjadi 60.867 kasus baru per hari. Kombinasi langkah darurat kesehatan yang keras dan vaksinasi yang ekstensif membuat India bisa menekan lagi angka infeksinya.
Di Asia sendiri, dua negara Arab, yakni Bahrain dan Qatar, adalah negara-negara dengan tingkat vaksinasi tertinggi, masing-masing 114,94 dosis dan 100,62 dosis per 100 orang. Artinya, seluruh penduduk di dua negara itu sudah divaksin, minimal disuntik dosis pertama.
Negara Asia lain yang angka vaksinasinya tinggi adalah Singapura 85,96 persen, China yang berpenduduk 1,39 miliar sudah 72,93 persen, Turki 51,73 persen dan Arab Saudi 48,07 persen. Dan rata-rata di negara-negara ini, angka infeksi jauh menurun dibandingkan dengan sebelumnya, bahkan mendatar.
“Jelas sekali vaksin itu efektif. Di negara-negara di mana kasus infeksi turun dalam beberapa bulan belakangan, vaksin telah menyelamatkan banyak nyawa. Dan di negara-negara yang tengah berjuang melawan gelombang ketiga atau keempat, vaksin juga menyelamatkan banyak nyawa,” tulis Financial Times atau FT, dalam laporannya 21 April 2021.
Analisis FT terhadap data di lima negara termasuk Inggris, Amerika Serikat, Prancis dan Chile menunjukkan, tingkat infeksi, rawat inap dan kematian menurun drastis pada kelompok lansia, setelah vaksin disuntikkan.
Angka ini bahkan tercipta pada saat negara-negara menghadapi varian baru COVID-19 dan gelombang ketiga pandemi. Lansia adalah kelompok usia yang paling tervaksinasi karena diprioritaskan di mana-mana.
Fakta ini berlawanan dengan pola yang terlihat pada gelombang pertama pandemi, sebelum ada vaksin, di mana angka kematian pada lansia masih tinggi.
Korelasi vaksinasi dengan turunnya kasus infeksi diyakini di mana-mana. Semakin banyak negara yang menyadarinya, terutama setelah gelombang ketiga di India bulan lalu.
Vietnam misalnya, yang naik ratusan per hari saja sudah sangat gelisah, tahu pasti prokokol kesehatan kali ini tak cukup bisa membendung varian baru yang lebih berbahaya.
Vietnam menyadari terlambat memvaksinasi warganya. Nasionalisme yang tinggi yang tak mau membeli vaksin buatan asing, khususnya China, membuat Vietnam menunggu keluarnya vaksin produk dalam negeri. Tapi varian baru datang lebih cepat dari pada datangnya vaksin produk negeri sendiri.
Negara yang dalam soal wabah selalu punya prinsip “sedia payung sebelum hujan” itu seketika menutup lagi dirinya, sampai-sampai mengusulkan kepada negara-negara ASEAN agar SEA Games ditunda karena khawatir lalu lintas sosial antarnegara menciptakan gelombang infeksi yang lebih dahsyat.
Sementara Malaysia yang juga menyadari tingkat vaksinasinya masih rendah, hanya sedikit di atas Indonesia pada 18,70 dosis per 100 orang, tak mau terpapar varian baru dan tak mau disapu gelombang ketiga seperti India ketika menjadi negara tertinggi kenaikan kasusnya. Mereka pun memberlakukan lockdown.
Malaysia belajar dari kasus India yang sempat euforia ketika penetrasi vaksin baru 10 persen padahal proporsi itu tak cukup kuat melawan gelombang ketiga COVID-19 yang datang tak terdeteksi.
Malaysia menyadari sampai herd immunity atau kekebalan kelompok tercipta, lockdown masih pilihan yang paling masuk akal.
WHO tak dapat memperkirakan berapa persen populasi yang harus divaksin COVID-19 agar tercipta herd immunity ini, karena tergantung kepada jenis penyakitnya. Namun Johns Hopskins University menaksir angka 70 persen dari total populasi, meskipun kisarannya 50-90 persen.
Dan jika angka itu yang menjadi patokan, maka rata-rata sepuluh negara yang menjadi tuan rumah Euro 2020 sudah memvaksin 50 persen penduduknya. Bahkan Inggris, Hungaria dan Jerman sudah memberikan 70 sampai 109 dosis vaksin untuk setiap 100 orang penduduknya.
Oleh karena itu, jika Anda menyaksikan Puskas Arena atau Euro 2020 dipenuhi orang-orang yang mungkin mengabaikan protokol kesehatan, dan langsung menyimpulkan sudah Eropa tak mempedulikan COVID-19, Anda salah besar.
Justru mereka melakukan itu setelah satu setengah tahun mempedulikan pandemi dan mereka semakin yakin tengah mendekati keadaan yang menciptakan herd immunity karena mereka ekstensif memvaksinasi penduduknya.
Justru dari Euro 2020 itu tersingkap bahwa vaksin telah menunjukkan, 'endgame' atau ‘babak akhir’ pandemi sudah di depan mata. (Antara)