Suara.com - Ketika Roman Abramovich membeli 50 persen saham Chelsea pada Juli 2003 dan diperbesar lagi menjadi 90 persen sampai kemudian mendelisting klub ini dari bursa efek AIM pada 22 Agustus 2003, Chelsea adalah tim yang tengah menyiapkan fondasi guna menjadi klub elite Liga Inggris.
Ketika Abramovich mulai mengendalikan Chelsea, klub ini hanya pernah sekali juara liga ketika masih bernama Divisi Pertama pada 1954-1955.
Namun setahun setelah Abramovich masuk, klub ini menyulap diri menjadi kekuatan elite dengan menjuarai Liga Premier dua musim berturut-turut sejak 2004-2005.
Total lima kali Chelsea menjadi juara liga sejak era Abramovich yang terakhir kali terjadi pada musim 2016-2017.
Baca Juga: Manchester United Vs Manchester City: Solskjaer Gundah Tanpa Edinson Cavani
Namun klub yang tak henti diguyur uang kecuali saat dihukum larangan transfer satu musim oleh FIFA pada 2019 karena melanggar aturan transfer pemain tersebut mencapai semua prestasi itu dengan tumbal besar yang tak dialami klub-klub elite Liga Inggris mana pun.
Setahun setelah mengendalikan Chelsea, Abramovich merekrut Jose Mourinho yang merupakan pelatih paling sukses yang mempersembahkan banyak gelar kepada The Blues.
Ironisnya, bahkan manajer paling sukses pun tidak lolos dari pemecatan. Dari 12 pelatih sepanjang era Abramovich termasuk dua pelatih sementara, hanya Mourinho yang tak dipecat dan itu pun terjadi pada periode pertamanya menukangi Chelsea.
Pada periode keduanya dari 2013 sampai 2016, Mourinho akhirnya dipecat juga oleh Abramovich yang disebut BBC salah satu donatur besar untuk pendudukan tanah Palestina oleh Israel.
Claudio Ranieri, Avram Grant, Luiz Felipe Scolari, Ray Wikins, Guus Hiddink, Carlo Ancelotti, Andre Villas-Boas, Roberto di Matteo, Rafael Benitez, Steve Holland, Antonio Conte dan Maurizio Sarri semuanya dipecat oleh Abramovich yang kebanyakan tak lebih dari satu musim melatih Chelsea.
Baca Juga: Jelang Derby Manchester, Solskjaer Kasih Angin Segar Buat Donny van de Beek
Ancaman pemecatan kini membayangi pelatih Chelsea saat ini yang juga legenda klub, Frank Lampard, terutama setelah mati kutu melawan Manchester City pada pertandingan liga pertamanya tahun ini.
Satu-satunya kabar baik bagi Lampard adalah catatan dia musim ini tidak seburuk musim kedua Mourinho.
Kekalahan Memalukan dari Manchester City
Kekalahan 1-3 dari Manchester City akhir pekan lalu itu membuat Chelsea baru mengemas 26 poin dari 17 laga musim ini atau 50,98 persen dari poin yang tersedia. Mengutip The Guardian, angka ini masih lebih baik ketimbang Mourinho pada 2015-2016 saat dipecat setelah hanya memetik 31,25 persen dari poin yang tersedia.
Tapi jangan bangga dulu. Jika dihitung semusim penuh, pencapaian Lampard lebih buruk dari pada yang dicatat Villas-Boas, juga lebih buruk dibandingkan dengan musim pertama Mourinho, Conte, Ancelotti, Sarri, Scolari, Di Matteo dan Ranieri.
Catatan ini amat mengganggu Lampard walaupun dia disayangi The Blues karena statusnya yang melegenda yang bertabur penghargaan tim dan individu selama menjadi pemain Chelsea.
Dari sekian manajer sebelum Lampard yang mengawali musim bersama Abramovich, hanya Mourinho pada periode keduanya dan Villas-Boas yang bercatatan sekitar 60 persen ketika dipecat oleh pengusaha sekaligus politisi Rusia itu.
Manajer-manajer Chelsea lainnya dipecat dengan catatan di bawah itu dan Lampard mempunyai catatan seperti itu.
Dari delapan pertandingan terakhir, Chelsea hanya menang dua kali ketika melawan Leeds United pada 5 Desember dan West Ham United pada 21 Desember tahun lalu.
Empat lainnya berujung kekalahan dan dua kali ditahan seri termasuk oleh Krasnodar dalam fase grup Liga Champions.
Setelah dikalahkan City, Lampard mengkritik karakter pemain-pemainnya sekalipun fakta di lapangan menunjukkan tim asuhan Pep Guardiola seperti menghadapi lawan yang keletihan dan kekurangan motivasi.
City yang kali itu tak begitu dominan dalam penguasaan bola dalam laga ini bahkan tak diperkuat tujuh pemain intinya karena cedera dan COVID-19.
Chelsea dipenuhi pemain-pemain muda yang tidak saja sangat bagus namun juga eksplosif setelah Abramovich mengeluarkan dana 222 juta pound atau Rp4,2 triliun.
Semestinya pemain-pemain hebat yang dibeli dengan harga tinggi seperti Timo Werner, Kai Havertz, Hakim Ziyech, Edouard Mendy, Thiago Silva, dan Ben Chilwell, di samping talenta-talenta muda produksi sendiri yang tak kalah cemerlang, Chelsea bisa merepotkan City atau tak kesulitan menaklukkan tim-tim yang kelasnya di bawah mereka.
Lampard Kesulitan Memadukan Kai Havertz dan Timo Werner
Kenyataannya tidak begitu. Salah satu faktor yang membuat itu tak terjadi adalah kegagalan Lampard dalam memadukan pemain-pemain hebatnya guna membentuk starting-eleven yang padu dan kuat.
Dia kesulitan memadukan dua bomber; Kai Havertz dan Timo Werner, dan ada kekecewaan terhadap kebiasaannya mengubah-ubah posisi sejumlah pemain setiap kali ganti formasi bermain.
Timo Werner misalnya. Dia sampai ditugaskan mengisi empat peran berbeda sepanjang musim ini. Berada di kiri saat formasi 4-3-3 dan di tengah ketika formasi yang diadopsi 4-2-3-1 atau 3-4-3. Padahal sewaktu di RB Leipzig, dia nyaman beroperasi pada peran yang sama yang membuatnya menjadi faktor mengerikan di klub Bundesliga itu.
Langkah dia itu membuat kebingungan di mana sebenarnya posisi Kai Havertz. Tak heran, kedua bomber terlihat tidak yakin dan ini mempengaruhi penampilan tim.
Situasi pelik semacam itu memicu spekulasi media bahwa legenda Chelsea itu bakal segera bernasib sama dengan pelatih-pelatih terdahulunya.
The Independent sudah menyebut Thomas Tuchel, Massimiliano Allegri, Brendan Rodgers, dan Ralph Hasenhuttl sebagai nama-nama yang dipertimbangkan Abramovich untuk menggantikan Lampard.
Itu belum termasuk nama yang pernah menjadi sumber pertengkaran Abramovich dan Mourinho pada periode kepelatihan pertamanya di Chelsea yang membuat Mou angkat kaki dari Stamford Bridge, yakni Andriy Shevchenko.
Namun begitu, bahkan kritik keras ini pun malah bisa melecut Lampard untuk segera mengembalikan Chelsea ke rel kemenangan. Apalagi manajer yang dikontrak sampai 2022 itu tetap didukung kuat oleh manajemen klub.
Lagi pula prestasi Lampard tak bisa disepelekan oleh klubnya. Dia sukses mengantarkan The Blues ke Liga Champions dan final Piala FA setelah menggantikan Maurizio Sarri pada musim panas 2019 ketika Chelsea masih diborgol larangan transfer oleh FIFA. Dia juga berjasa mempromosikan pemain-pemain muda Chelsea.
Tetapi nasib Lampard bakal tergantung kepada laga-laga berikutnya yang dijalani Chelsea nanti.
Deretan laga dalam waktu dekat ini adalah melawan Morecambe dalam babak ketiga Piala FA pada 10 Januari dan melawan Fulham pada 15 Januari dalam pertandingan liga. Seharusnya kedua laga ini berakhir dengan tiga poin untuk Chelsea.
Namun dua pertandingan setelahnya, yakni melawan Leicester pada 19 Januari dan Wolverhampton Wanderers pada 27 Januari, adalah ujian sejati bagi Lampard.
Tergelincir dalam pertandingan-pertandingan ini maka bisa tergelincir pula Lampard, sebaliknya sukses dalam semua laga ini akan membuat Lampard kian lengket menduduki singgasana. (Antara)