Tatapan mata Pras menjadi kosong. Dia mencoba menyatukan serpihan masa lalu dan mengingat kembali awal bergabung CMB.
“Saat saya masuk, CMB bubar. Bubar bukan dalam arti hilang. Tapi personelnya yang naik jabatan dan beberapa ada yang mengundurkan diri. Saya kaget, saya pertama kalinya menjadi pemimpin di sana, dan langsung mengurus kelompok tanpa anggota. Bayangkan!” katanya.
Tahun pertama menjadi seorang ketua sangat berat. Tanpa anggota dan hanya memiliki tiga alat musik, Pras dituntut untuk selalu meramaikan tribun dengan tabuhan drum. Diapun memiliki cara sendiri.
“Mau tidak mau harus ada musik. Jadi, saya tetap membawa alat musik ke tribun. Sebelum laga dimulai, saya mencari suporter yang saya kenal. Beberapa suporter masih bertetangga dengan saya. Tiap PSIM Yogyakarta berlaga, saya menarik tetangga saya yang punya keahlian bermain drum,” tutur dia, tersenyum geli.
Baca Juga: Dilepas PSIM Yogyakarta, Raphael Maitimo Resmi Gabung Klub Liga 1 2019
“Itu saya lakukan hampir 1,5 tahun. Beruntung tahun selanjutnya mulai ada satu orang yang selalu hadir menjadi penabuh drum. Dari sana saya sudah mulai semangat membangun CMB, meski sebelumnya sempat ragu terhadap masa depan tim kreasi seni Brajamusti ini,” tambahnya.
Seiring berjalan waktu, anggota semakin bertambah. Hingga tahun 2019, CMB memiliki sembilan personel, yakni, Aan, Arca, Danan, Yusrizal, Zulkarnain, Prasojo, Kresno, Dwi serta Munandar.
Berbeda dengan Prasojo ‘Cebong’, salah seorang anggota CMB lain, Ahmad Saputra yang kerap disapa Aan memiliki perjalanan lain sebelum menjadi penggetar Stadion Mandala Krida.
“Saat masih kecil saya selalu diajak ayah menyaksikan pertandingan PSIM di Mandala Krida. Itu butuh perjuangan juga. Ketika mau nonton saja mesti ngontel (naik sepeda) berboncengan dengan ayah sekitar 45 menit dari rumah,” ujar Aan.
“Setelah cukup umur, tiap PSIM bertanding, saya selalu berangkat bersama kawan menggunakan sepeda. Waktu itu jiwa Brajamusti sudah melekat pada diri saya. Karena PSIM memang kebanggaan orang Yogyakarta,” tambahnya.
Baca Juga: Tumbang oleh Mitra Kukar, Begini Komentar Pelatih PSIM
Aan adalah pemuda 20 tahun berbadan kecil dan kerap memakai topi. Meski tak memiliki badan besar dan tegap seperti Prasojo, Aan tak boleh diremehkan. Memikul bas drum pakai satu tangan saja dia kuat.
“Mulai 2012 lalu saya bergabung bersama CMB,” kata Aan. “Saya tertarik karena memiliki keahlian menjadi penabuh drum. Jadi saya salurkan agar bermanfaat.”
“Menjadi penabuh drum rasanya seperti melampiaskan emosi yang terpendam. Karena memukul keras alat musik namun tetap dalam ritme yang sesuai. Ditambah lagi teriakan semangat suporter di tribun stadion. Ada rasa bangga bisa mengawal pemain dan supporter selama bertanding,” akunya.
CMB memiliki dua jenis drum, snare drum dan bas drum. Snare drum berukuran kecil dan bersuara nyaring. Biasanya menjadi pelengkap suara bas. Sedangkan bas drum berukuran lebih besar, jenis ini yang paling menonjol terdengar saat suporter bernyanyi.
“Saya kerap menabuh snare drum. Tetapi ketika kurang personel, saya juga menabuh bas. Kami saling bergantian menabuh ketika berada di kandang,” tambah Aan.
“Tapi saat laga tandang, tak seluruh personel hadir karena berbenturan dengan jadwal kerja. Saat laga away, tidak banyak alat musik yang dibawa. Kami sesuaikan dengan jumlah personel yang bisa berangkat,” jelas dia.
Penabuh saat Ricuh
AAN DAN PRAS, keduanya telah menjalani pasang surut CMB selama sembilan tahun ini. Bahkan, insiden ricuh antarsuporter pernah dialami Aan saat mengawali kepemimpinannya sebagai garda terdepan CMB.
“Saat itu Mandala Krida belum direnovasi, sekitar tahun 2010. PSIM masih mengikuti ajang Divisi Utama. Kami bermain di markas besar menghadapi lawan bebuyutan, PSS Sleman,” buka Pras sambil sesekali mengisap rokoknya.
“Seluruh alat musik kami keluarkan untuk menyemangati pemain PSIM, dan berharap bisa membuat malu lawan yang datang ke kandang. Suporter lawan datang, mereka mencoba mengintimidasi meski bermain di kandang kami,” jelas Pras.
Puluhan ribu suporter memadati stadion Mandala Krida. Fan kedua klub saling melempar yel-yel yang memicu tensi permainan serta suasana di tribun suporter menjadi panas. Satuan Brimob, dan jajaran Poltabes Yogyakarta datang mengawal jalannya pertandingan derbi tersebut.
“Saat bertemu rival klub, adrenalin Brajamusti semakin kencang. Tabuhan drum dan nyanyian kami lakukan dengan semangat. Stadion layaknya tempat perang ketika dua derbi ini bertemu,” kenang Pras.
Yel-yel dan intimidasi saling berbalas. Tak ada yang ingin mengalah. Sepanjang laga, Mandala Krida berguncang dengan tensi panas tersebut.
“Saat itu memang ada beberapa supporter yang mulai melempar botol di sisi timur dan utara. Namun kami masih menabuh drum dengan semangat. Polisi juga sudah meredakan suasana di dalam tribun, namun sesekali suporter mengulang lemparan benda keras ke arah kami. Hingga akhirnya gas air mata dilepas polisi untuk meredakan bentrok,” ungkap Pras.
Kondisi makin kacau. Saat menghirup sedikit udara di sekitar tempat jatuhnya gas air mata, kerongkongan terasa kering, sesak napas. Parahnya mata terasa seperti tertusuk benda tajam.
Suporter PSIM dan PSS Sleman berlarian. Mereka mencari tempat aman. Ada yang berlari keluar stadion lewat pintu tribun. Namun, tak sedikit fan yang berlari ke dalam lapangan untuk mencari tempat berlindung.
“Kami berhenti menabuh, suasana sangat kacau, orang-orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Sesekali supporter saling melempar batu. Banyak yang berlari ke tengah lapangan. Ironisnya, drum yang biasa kami gantungkan di pagar timur stadion menjadi tangga untuk melompati pagar,” paparnya.
“Kami berusaha menjaga alat musik namun terlambat, senjata kami sudah diinjak-injak. Suasana makin kacau, gas air mata ditembakkan lagi di sekitar saya berdiri,” katanya.
“Saya tak bawa masker atau penutup wajah untuk menghindari menghirup gas. Rasa sesak napas dan mata perih menyerang saya.”
Pras sudah tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan drum-drum yang menggantung di pagar timur stadion. Semua berlari keluar tribun. Meski Pras sudah selamat dari kepungan asap, rasa sesak dan mata perihnya masih terasa.
Dia mencoba bertahan dengan sisa napas yang bisa dia hirup. Namun, oksigen di sekitar Pras berdiri sudah tak banyak membantu. Mata Pras berkunang-kunang, merah dan menahan untuk tak terjatuh. Hingga akhirnya dia melihat sepercik cahaya dan membuatnya ambruk.
Pras pingsan! Napasnya sangat berat. Kawannya yang sejak dari tadi berlindung bersamanya panik. Untung ada tim medis yang tengah bersiap di stadion setempat. Pras dibawa ke rumah sakit untuk mendapati pertolongan pertama karena kesulitan bernapas.
“Itu momen yang tak bisa dilupakan. Rasanya sudah seperti diujung tanduk. Tak bisa bernapas dan pasrah jika itu hari terkahir saya,” kelakarnya.
Namun, dewi fortuna masih memberinya kesempatan untuk menggawangi kelompok penabuh drum kesebalasan Laskar Mataram ini. Pras kembali sehat dan mulai kembali membakar semangat PSIM fans usai laga tersebut.
“Saat laga derbi memang selalu menarik. Tapi, konsekuensinya cukup besar. Jadi tetap waspada dan bersiap mengalami hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya,” ujar Pras.
Tak hanya tahun 2010 saja laga kedua tim pecah. Pada 2014 silam, dua tim tersebut ricuh saat PSIM bertamu ke Stadion Maguwoharjo, rumah besar skuat Super Elang Jawa di Sleman.
Aan sudah menjadi anggota tetap CMB dan berangkat ke markas lawan. Tak banyak memang alat musik yang dibawa mengingat jumlah personel yang kurang. Hanya satu bas drum dan dua snare drum.