Suara.com - Kemenangan di lapangan hijau, tak selalu hanya ditentukan oleh sebelas pemain dan satu pelatih. Suporter kerap menjelma pemain ke-12 yang menentukan, termasuk si penauh genderang sepanjang laga.
SENYUM SEMRINGAH tersungging di bibir orang-orang berbaju biru itu. Seragamnya berornamen batik, logo Tugu Jogja, dan terdapat tulisan Corps Musik Brajamusti (CMB).
Mereka beriringan menaiki anak tangga di sisi timur Stadion Mandala Krida, sembari memikul drum besar. Sesekali mereka bersenda gurau.
“Stadion baru semangat baru. PSIM masuk Liga 1,” kelakar Pras.
Baca Juga: Dilepas PSIM Yogyakarta, Raphael Maitimo Resmi Gabung Klub Liga 1 2019
“Amin, semoga kesampaian mas. Nanti drumnya ditata di tempat biasa kan?” tanya seorang anggota CMB.
“Ya, sama seperti dulu, gantung di pagar stadion,” tambah Pras.
“Sip,” balas anggota lain.
Prasojo ‘Cebong’ Sigit Laksono (27) tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Hari itu adalah hari pertama bagi suporter Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram menginjakkan kaki di ‘rumah baru’, setelah tujuh tahun mengungsi keluar dari tanah Jogja.
Stadion Mandala Krida, markas besar klub sepak bola Yogyakarta, PSIM, sempat ditutup sejak 2016 untuk direnovasi. Selama itu pula, PSIM menggunakan Stadion Sultan Agung, Bantul sebagai markas pengganti.
Baca Juga: Tumbang oleh Mitra Kukar, Begini Komentar Pelatih PSIM
Penantian lama itu akhirnya berakhir Kamis, 8 Agustus 2019. Mandala Krida kembali dibuka. PSIM menjamu Martapura FC. Stadion berwajah baru itu disesaki lebih kurang 30 ribu PSIM Fans dari segala penjuru wilayah sekitar Kota Gudeg.
Brajamusti, Maident (Mataram Independent) dan pecinta klub sepak bola asuhan Aji Santoso ini berbondong-bondong menjajal tribun stadion baru, yang menghabiskan biaya renovasi sebesar Rp 174 miliar.
Mandala Krida riuh rendah oleh manusia berseragam biru pada laga perdana Laskar Mataram di kandang mereka.
Peluit babak pertama berbunyi, pertandingan dimulai. PSIM dan Martapura FC saling jual beli serangan untuk merengkuh tiga poin sempurna pada akhir-akhir laga putaran pertama Liga 2 2019.
Teriakan suporter menggema di tengah Kota Yogyakarta, berharap tuah Mandala Krida memberi kemenangan untuk Cristian Gonzales Cs di markas barunya.
“Bermainlah dengan hati... terus berjuang tanpa henti… bila menang kita rayakan hari ini,” teriak suporter PSIM menyanyikan yel-yel Halo Laskar Mataram.
Pras, yang juga ketua CMB di kepengurusan Brajamusti tak henti-hentinya menyulut semangat PSIM Fans melalui tabuhan bas drum.
Dibantu delapan penabuh lain yang silih berganti membakar semangat suporter, Mandala Krida bergetar mengintimidasi lawan sepanjang laga.
Benar saja, memasuki menit ke-24, penyerang PSIM, Rosy Noprihanis dilanggar pemain Martapura di luar kotak penalti. Bek Aditya Putra Dewa mengambil alih tendangan bebas.
Tabuhan drum dan teriakan suporter berubah landai. Sedikit sunyi, namun masih terdengar teriakan suporter menyemangati para pemain.
Putra Dewa bersiap, berlari mendekati bola, menendang, bola melewati pagar betis Martapura dan langsung menghunjam sisi kanan gawang kawalan Ali Budi Raharjo, gol!
Teriakan dan tabuhan drum suporter membahana. Kedudukan 1-0 untuk tim tuan rumah. Kebahagiaan terlihat dari wajah fan PSIM.
“PSIM…PSIM…PSIM….!!!, teriak supoter yang juga bertepuk tangan dengan ritme cepat.
Yel-yel “Brajamusti Beraksi”, “Kukibarkan Bendera Mataram” dan “Brajamusti Asli Jogja” menyertai sorak-sorai merayakan gol perdana Laskar Mataram di markas besar mereka.
Tak perlu menunggu lama, fan PSIM di stadion yang baru diresmikan 10 Januari 2019 itu kembali bersorak pada menit ke-25.
Dimulai dari sisiran Redi Rusmawan di kiri lapangan. Tanpa penjagaan ketat, Redi berlari menusuk ke lini pertahanan Laskar Sultan Adam.
Melihat Cristian Gonzales yang juga tak dikawal ketat, Redi mengumpan. Gonzales yang sudah bersiap langsung menyontek bola, dan Gol! El Loco mudah melesakkan si kulit bundar ke jala Ali Budi.
Tribun timur kembali riuh, hentakan kaki hingga lompatan membabi buta dilakukan suporter PSIM. Beberapa fan berpelukan. Suporter tak peduli konstruksi stadion yang baru saja dibenahi. Mereka meluapkan kegembiraannya atas dua gol yang dibuat penggawa Laskar Mataram.
Namun, gol kedua PSIM seakan menjadi petaka untuk sang wasit lapangan, Sance Lawita. Penggawa asuhan Frans Sinatra Huwae, tak terima terhadap kecakapannya memimpin.
Mereka mendorong dan memprotes sang wasit yang telah memutuskan gol bagi Laskar Mataram. Pertandingan akhirnya dihentikan cukup lama.
Suporter PSIM berteriak, tak sedikit yang mengumpat, meminta laga segera dilanjutkan. Selang delapan menit, emosi Laskar Sultan Adam mereda. Pertandingan dilanjutkan. Kedua tim saling menyerang untuk menambah angka. Hingga babak pertama Selesai, tak ada gol tercipta. Kedua tim menuju ruang ganti.
Suporter ikut beristirahat. Tak ada suara drum maupun yel-yel yang 45 menit sebelumnya riuh memekakkan telinga.
Martapura FC bukan tanpa perlawanan. Masuk babak kedua, mereka bermain lebih menekan. Sang striker, Sandi Pratama sempat membuat repot lini bertahan PSIM. Tendangan ke arah gawang, dia lepaskan. Namun, pertahanan kawalan I Putu Pager Wirajaya sangat tertutup rapat.
Kapten Martapura FC, Ardan Aras dan kawan-kawan cukup kesulitan menembus lini belakang Laskar Mataram pada babak kedua.
Akhirnya, wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. PSIM Yogyakarta sukses mengandaskan Martapura FC dengan skor 2-0. Mandala Krida benar-benar memberi tuah untuk PSIM pada laga perdananya di rumah baru mereka.
Pendukung PSIM melakukan tradisi turun temurun seusai pertandingan. Anthem Aku Yakin Dengan Kamu (AYDK) melantun indah di Mandala Krida.
Lagu ciptaan Andry Priyanta ini serentak dinyanyikan. Puluhan ribu suporter mengangkat slayer bertulis PSIM Jogja dan sebagian lain menyalakan lampu dari ponsel masing-masing.
“Selalu bersama menjadi satu…Tak lelah ku di sampingmu. Selalu bersama menjadi satu…Aku yakin dengan...Aku yakin dengan kamu...” begitu bunyi penggalan lirik lagu tersebut.
Suporter bertepuk tangan. ‘Upacara’ terakhir ditutup Viking Clap dengan penabuhan drum oleh salah seorang penggawa Laskar Mataram.
Pras, yang bertugas membawa bas drum ke tengah lapangan sangat bahagia bisa kembali melakukan tradisi itu di Mandala Krida.
“Memang harus muter jauh untuk menuju tengah lapangan. Tapi ini tradisi yang sangat menggembirakan untuk saya. Karena saya lakukan untuk kali pertama di rumah baru dengan klub kebanggaan, PSIM,” tuturnya.
Jalan si Penabuh
PRAS MENIKMATI teh hangat yang berada di meja kaca tempatnya bekerja. Sambil menyulut sebatang rokok, petugas satuan keamanan di kantor DPRD Kota Yogyakarta itu melanjutkan kisahnya sebagai penggetar markas besar PSIM.
“Saya tidak pernah main alat musik. Nada musik saja tidak tahu,” kata dia di ruang kecil.
“Yang membawa sampai menjadi CMB ini dulunya iseng. Karena menurut saya, hanya menjadi suporter, kurang greget.”
Sewaktu masih duduk di kelas 2 SMP, Pras iseng menabuh drum ketika istirahat babak pertama pada salah satu pertandingan PSIM.
“Wah kamu bisa nabuh drum?” kata anggota CMB kepada Pras kala itu.
“Enggak mas, pengen nyoba aja rasanya mukul drum sebesar ini,” jawab Prasojo.
“Ya sudah, nanti kalau udah main lagi, dicoba. Besok PSIM kan ada pertandingan lagi, langsung dateng aja,” kata anggota CMB itu memberikan penawaran kepada Pras.
Pras saat itu tak menjawab, hanya tertawa. Namun, jiwa Brajamusti yang menempel di dadanya, menggiring Pras terjun sebagai penabuh drum pada laga-laga PSIM.
“Saya mulai bergabung, namun belum menjadi pengurus. Hanya sebagai anak kecil dengan modal semangat. Tapi saya punya banyak teman di sana. Selain itu juga memahami strukrur organisasi di Brajamusti. Hingga akhirnya saya masuk menjadi pengurus 2010 lalu. Saat itu saya mendapat amanah untuk memegang CMB,” ujarnya.