"Di sini memang pedagang berusaha untuk hidup. Lebih kurang ada 150-200 orang, baik yang masuk ke paguyuban maupun tidak," kata dia.
"Ratusan pedagang itu, kami juga mengimbau untuk saling menjaga stadion ini agar tetap kondusif. Sehingga 'sawah' kami di Maguwoharjo tetap menjadi berkah dan bisa menghidupi orang lain di rumah," kata dia.
Nah, pada akhirnya, kisah Kencono, Mujiman, Winardi Kabul merupakan potret betapa sepak bola tanah air begitu krusial bagi kehidupan wong cilik seperti mereka.
Maka, wajib hukumnya sepak bola Indonesia harus dikelola secara profesional baik dalam penyelenggaraannya maupun manajemennya.
Baca Juga: Kandang Rasa Tandang, Kalteng Putra Jamu PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo
Aksi tipu-tipu di balik pertandingan sudah bukan lagi zamannya. Selain bakal mencederai sportifitas para pelaku olahraga terpopuler sejagad ini, perbuatan itu secara tidak langsung juga bakal 'membunuh' para pengasong dan keluarganya.
Liputan khas ini ditulis oleh Muhammad Ilham Baktora