Suara.com - Sejumlah laki-laki yang tergabung dalam organisasi massa dan juga organisasi intra-kampus, mengecam serta menolak turnamen sepak bola putri bentukan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) di Kota Lhokseumawe, Aceh, pada akhir Juni 2019.
Kelompok tersebut mengecam turnamen sepak bola putri level U-17 ini dianggap menjatuhkan harkat dan martabat masyarakat Aceh, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.
Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Papat Yunisal menyadari adanya perbedaan persepsi soal masalah ini. Oleh sebab itu, ia berharap adanya mediasi yang dilakukan guna mengatasi masalah ini.
"Ini kan suatu kebanggaan bagi pemain, bagi kota, bagi provinsi, bagi negara. Jadi sebetulnya yang bisa mengangkat kebanggaan kita itu dari olahraga, tapi memang dari segi agama juga penting yah. Tapi, harus bisa membedakan," kata Papat kepada Suara.com, Senin (8/7/2019).
Baca Juga: Perez: Persib dan Persija Seperti El Clasico
"Sekarang di luar negeri juga di daerah yang betul-betul negaranya memakai cadar, dulu tidak boleh masuk ke stadion, tidak boleh memakai kendaraan sekarang kan dibolehkan. Justru kita sekarang seharusnya ada yang mediasi. Kalau kita lihat bagaimana auratnya dengan pertandingan cabor (cabang olahraga) renang, volly pantai, angkat berat," tambahnya.
"Saya rasa sepak bola itu auratnya, nggak sepeti itu. Mungkin ini saya bukan menyalahkan, saya mau pelajari juga yah. Dulu ada juga even nasional, itu yang paling duluan tidak mengikuti dari Aceh. Dan keterangannya demikian," jelasnya.
Papat berharap adanya seseorang yang bisa menjembatani permasalahan ini. Agar ada jalan bagi atlet asal Aceh untuk menyalurkan bakat yang dimilikinya.
"Kita juga ada pimpinan dari wilayah desa, naik ke kecamatan, wali kota, lalu gubernur. Mungkin ada hal yang tepat, ini even apa, siapa yang harus mengikuti? Bagaimana caranya?."
"Kan banyak juga sekarang atlet yang pakai jilbab yang auratnya tidak terlihat. Tapi, yang standar itu saya rasa auratnya tidak terlalu, ini kan seperti yang diharamkan."
Baca Juga: Laki-laki Aceh Tolak Kompetisi Sepak Bola Putri: Merendahkan Martabat Kami
"Sekarang ini cabor lain juga saya rasa perlu ada figur yang tepat untuk memberikan masukan. Karena nanti akan ada dua persepsi, seperti kemarin itu atlet Asian Para Games batal karena tidak dibolehkan pakai jilbab, sehingga dia tidak ikut karena tidak mau melepas jilbabnya. Itu dari sisi agama bagus, tapi kan kasihan, dia di-bully, bisa saja dia bagus masa depannya dari sana."
Papat menjelaskan sepak bola putri bisa menjadi batu loncatan bagi putri-putri Aceh di masa depan. Terlepas dari itu semua, kepentingan seperti agama pun tidak boleh ditinggalkan.
"Seperti saya sekarang, banyak pemain yang bisa meneruskan pendidikan ke sarjana gratis dari main bola, bisa kerja jadi PNS. Semua bisa mendapatkan masa depan yang bagus."
"Kalau dikumpulkan, atlet-atlet bisa sampai ada yang main di Norwegia, seperti pemain kita (Zahra Musdalifah) ada yang juara di Inggris. Itu semua cari pekerjaan bukan hal mudah, meski sudah ahli."
"Tapi, dari olahraga ini banyak positifnya. Apalagi dari segi pemain nasional itu kemarin luar biasa dari negara hadiahnya, bonusnya, masa depannya dijamin. Itu contoh yah," pungkasnya.