Suara.com - Ada setan kembali bergentayangan di Eropa: Manchester United. Setan-setan muda yang mampu menjungkir-balikkan semua prediksi. PSG yang bertabur bintang, takluk. Kini, raksasa sepak bola benua Biru ramai-ramai mencari cara mengusir sosok yang membangkitkan setan itu: Ole Gunnar Solskjaer.
SIR Alex Ferguson tampak tegang pada masa jeda babak pertama laga final Liga Champions musim 1998-1999, yang mempertemukan Man United dan Bayern Muenchen. Timnya sementara tertinggal 0-1.
Dalam ruang ganti, Sir Alex panjang lebar berbicara khusus kepada Teddy Sheringham, striker bintang Setan Merah kala itu.
Sang gaffer tampak menjelaskan rencana yang harus dijalankan Teddy selama babak kedua, agar bisa memaksa raksasa sepak bola Jerman takluk atau sedikitnya terpaksa memainkan babak tambahan.
Baca Juga: Menuju Bulan, Robot Israel Kirim Foto Selfie Berlatar Bumi
Sementara di salah satu bangku pemain dalam ruangan tersebut, Ole Gunnar Solskjaer terdiam sembari terus memerhatikan sang bos yang terus berbincang dengan Sheringham.
Ole menyimpan amarah. Benaknya disesaki pertanyaan: kenapa Sir Alex tak mau berbicara dengannya. Ia merasa tersisih, terbuang, tak dipedulikan oleh orang yang dihormatinya tersebut.
"Hei, aku sudah mencetak 17 gol musim ini. Gol itu untuk Anda, apakah kau tak mau berbicara denganku?" kata Ole dalam hati kala itu.
Hingga masa jeda selesai dan seluruh pemain kembali ke lapangan, Sir Alex tetap mendiamkan Ole. Pemain asal Norwegia tetap berada di pinggiran lapangan, tempat pemain cadangan.
Persis pada menit ke-67, Sir Alex memberi aba-aba agar Sheringham masuk ke lapangan. Ia menarik keluar pemain sayap kirinya yang tak berdaya, Jesper Blomqvist.
Baca Juga: Peran Sir Alex dalam Kemenangan Fenomenal Manchester United di Paris
Sir Alex tampak memberi isyarat agar Sheringham harus bisa menciptakan satu gol, untuk memaksakan babak tambahan.
Namun, hingga memasuki 10 menit terakhir babak kedua, Sheringham dkk belum menunjukkan tajinya.
Suporter Man United yang memenuhi stadion Camp Nou Barcelona semakin tegang, sebagian sudah menahan tangisan.
Pada masa-masa genting itulah Sir Alex lantas menunjuk Solskjaer untuk masuk ke lapangan, persisnya menit ke-81.
Solskjaer langsung mengamuk. Ia sempat beberapa kali membuat kiper Muenchen Oliver Kahn kelimpungan. Tapi, tembok pertahanan lawan tetap kokoh.
Sementara wasit keempat telah memberikan tanda injury time selama tiga menit. Sir Alex dan kubu United semakin tegang.
Segera setelah menapaki masa injury time, Man United mendapatkan peluang lewat tendangan penjuru. Suporter mereka mengira, ini adalah serangan terakhir klub mereka.
Itu setelah melihat kiper mereka, Peter Schmeichel maju ke kotak penalti lawan, untuk menambah daya gedor.
Keajaiban terjadi. David Beckham muda yang mengambil tendatangan sudut melayangkan bola di atas kepala Schmeichel. Dwight Yorke ada di dekatnya, mengeksekusi... tapi digagalkan oleh Thorsten Fink, disapu keluar.
Sapuan tidak sempurna—Ryan Giggs ada di sana! Giggs, di sisi kanan lapangan, menembak—sayang terlalu lemah dan lambat... ada Sheringham di sana! Menyapu bola dengan kaki kanan... goool!
United sukses mencetak gol penyeimbang pada menit 90+1. Harapan kembali terbuka, untuk menjalani babak tambahan.
Tapi ternyata keajaiban buat United terus berlanjut. Hanya selang 30 detik, United kembali dihadiahi tendangan pojok.
Kali ini Schmeichel tetap di gawangnya, berjaga-jaga terhadap serangan balik Muenchen. Beckham kembali mengeksekusi tendangan pojok, disambut sundulan Sheringham menuju bawah... ada Solskjaer! Tendangan ke atas... masuk ke gawang Muenchen. Goool!
Sorak-sorai bergema di seantero stadion. Solskjaer dikerubungi oleh para pemain United, pengganti, dan juga staf-stafnya di bangku cadangan.
Gol itu adalah yang terakhir dalam laga tersebut, United sukses mengangkat trofi kedua Liga Champions mereka.
Setelah 18 tahun berlalu, Ole Gunnar Solksjaer mengenang masa-masa itu saat diwawancarai FourFourTwo, Desember 2018.
"Kala itu tidak ada yang istimewa. Sir Alex berbicara panjang lebar dengan Teddy sewaktu istirahat babak pertama, dan itu membuatku kesal," tuturnya.
"Saya berpikir: Saya sudah mencetak 17 gol untuk Anda musim ini, sebagian besar datang sebagai pengganti, apakah Anda tak mau berbicara kepada saya?" lanjut Ole.
Setelah menjadi matang karena umur yang menua, Ole baru memahami bahwa itulah cara Sir Alex untuk memacu semangatnya.
“Sir Alex mendiamkan saya, ternyata itulah cara untuk memicu saya, untuk membuat saya merasa 'Saya akan membuktikan Anda salah'. Begitulah.”
Ole masih mengingat kalimat yang dilontarkan Sir Alex khusus kepadanya seusai laga itu: "Ole, kau pantas mendapatkan ini, piala ini. Kau sangat pantas memenangkan Liga Champions".
Dia kala itu mungkin tak bakal berpikir, bakal kembali mencecap rasa yang hampir sama.
Peristiwa yang mirip, benar-benar terjadi tatkala Manchester United bertandang ke kandang Paris Saint-Germain dalam laga leg kedua babak 16 besar Liga Champions 2018/2019 dini hari tadi.
Man United secara fenomenal mampu meraih kemenangan 3-1 di Parc des Princes. Padahal, Setan Merah sebelumnya keok dengan skor 0-2 pada leg pertama yang digelar di Old Trafford tiga pekan lalu.
Ole tampil sebagai sosok sentral dalam kemenangan United itu. Tidak sebagai pemain, tapi pelatih.
Momen Ulangan
Babak kedua pertandingan bakal memasuki masa injury time, tatkala papar skor menunjukkan United unggul 2-1 atas PSG. Namun, keunggulan itu belum bisa membawa United lolos ke babak selanjutnya, karena masih kalah agregat.
Tapi, situasi itu berubah ketika pada menit '90, persis saat wasit keempat mengangkat papan tanda tambahan waktu 3 menit sebelum laga berakhir.
Bek sayap kanan United yang masih muda, Diogo Dalot, tak mau menyia-siakan waktu tiga menit tersebut. Ia tancap gas, merangsek ke depan dan melepas tendangan keras dari bibir luar kotak penalti PSG.
Bola yang dilesakkan Dalot membentur bek PSG Presnel Kimpembe, dan bergulir ke luar. Wasit asal Slovenia yang memimpin laga tersebut, Damir Skomina, memberikan isyarat tanda hadiah tendangan pojok untuk United.
Namun, pada saat bersamaan, Dalot mengangkat tangan kanannya untuk memberitahu Damir bahwa tembakannya mengenai lengan Kimpembe dan meminta hadiah penalti.
Damir akhirnya menyetop laga. Ia berlari ke pinggir lapangan untuk menyaksikan tayangan ulang pada layar besar Video Assistant Referee alias VAR.
Sejurus kemudian, Damir berlari masuk lapangan dan telunjuknya menunjuk titik putih: penalti untuk United. Kimpembe merungkuk sembari menutupi wajahnya tanda kecewa.
Marcus Rashford, striker muda ujung tombak United mengeksekusi bola yang ternyata tak bisa ditahan oleh kiper veteran Gianluigi Buffon. Gol, 3-1 untuk keunggulan United yang bertahan hingga akhir pertandingan.
Seluruh pemain PSG lesu. Angel di Maria yang dicap pengkhianat oleh suporter United celingak-celinguk kebingungan setelah wasit mengakhiri laga. Pada bangku penonton, Neymar —striker PSG yang cedera-- bengong.
'Solskjaer Babes'
Seusai laga, Ole mengungkapkan resep tokcer untuk membalikkan keadaan dan menaklukkan PSG.
Selain hal teknis, ia mengungkapkan berupaya mengubah paradigma para pemainnya untuk tak menyerah —seperti dia muda tatkala dilatih Sir Alex.
Ia menyebut Man United terinspirasi kemenangan Ajax Amsterdam dan Barcelona. Sehari sebelumnya, Ajax memang juga sukses menorehkan pencapaian fenomenal.
Ajax juga sukses membalikkan agregat seusai mempermalukan tuan rumah Real Madrid dengan skor 4-1 di Santiago Bernabeu pada leg kedua babak 16 besar. Ajax lolos ke perempat final dengan keunggulan agregat 5-3.
Sedangkan Barcelona pernah melakukan comeback fantastis pada babak 16 Besar Liga Champions musim 2016/2017, juga atas PSG. Kalah 0-4 pada leg pertama, Barcelona menang 6-1 pada leg kedua untuk melangkah ke delapan besar.
"Sehari sebelum laga, kami melihat pertandingan antara Real Madrid dan Ajax, Barcelona melawan PSG (pada musim 2016/2017). Itu adalah skenario yang mirip dan menunjukkan bahwa semangat pantang menyerah dalam sepak bola itu penting," ungkap Solskjaer.
Ia juga memuji semangat juang skuatnya, yang rata-rata masih bocah tapi mampu mengalahkan bintang-bintang lapangan hijau milik PSG.
Sebagai catatan, United melakoni laga tersebut tanpa diperkuat oleh sejumlah pemain bintang seperti Paul Pogba, Nemanja Matic, Ander Herrera, Anthony Martial, Juan Mata, atau Alexis Sanchez.
Pada laga itu, Rashford masih berusia 21 tahun, tapi mampu menguasai emosi saat head to head melawan kiper gaek sekelas Buffon.
Di sisi lapangan, ada Andreas Pereira yang baru berusia 23 tahun tapi mampu meliuk-liuk pada sayap kiri, dan terkadang menyeruak masuk ke kotak penalti.
Agak masuk ke tengah, Ole menempatkan McTominay, gelandang 22 tahun yang rajin naik-turun untuk menghancurkan aliran bola dari maestro PSG Verratti.
Ketika mengalami kebuntuan untuk mencetak gol, Ole memasukkan Diogo Dalot, pemain serba bisa berusia 19 tahun yang membidani penalti kemenangan United.
Pun demikian Tahith Chong dan Mason Greenwood, dua nama yang benar-benar masih berusia belasan tahun tapi dipercaya Ole melakoni laga tingkat Eropa malam itu.
"Para pemain kami muda dan segar, yang memberi kami energi lebih ketika kami butuh gol dan kemenangan ini.”
Bagi Solksjaer sendiri, laga itu tampak seperti de javu. Sebab, sekali lagi ia menunjukkan kualitas dirinya kepada sang mentor: Sir Alex Ferguson, yang bersama legenda mereka, Eric Cantona, menonton langsung pertandingan tersebut.
"(Sir Alex Ferguson) Bahagia dan juga merasa bangga. Inilah yang kami lakukan di Manchester United!" ucapnya.
"Sejak saya menangani tim ini (sebagai caretaker), Sir Alex sudah beberapa kali melakukan team talk. Ia memberi masukan, wejangan, motivasi pada para pemain. Ia jelas juga ikut berperan pada kebangkitan skuat ini," pujinya lagi.