Suara.com - Awal kemunculannya, dia dianggap inovator muda nan cerdas dari pinggiran lapangan hijau benua biru. Setelahnya, ia menjelma sebagai malaikat kegelapan, yang sialnya, mampu gentayangan mengintimidasi segala glorifikasi keindahan sepak bola. Tapi kekinian, Jose Mourinho mengalami arus balik.
PAMAN Mou baru saja menyelesaikan makan siangnya di restoran Hotel Lowry, Selasa, 18 Desember 2018, siang.
Mourinho telah tinggal di pesanggrahan pinggiran Sungai Irwell, Salford, Greater Manchester, Inggris, tersebut sejak 2016—kala ia ditunjuk sebagai pelatih Manchester United.
Namun, makan siangnya pada hari Selasa itu, adalah momen terakhirnya di hotel tersebut. Setelah 895 hari tinggal di sana, ia check out, seiring pengumuman petinggi Setan Merah yang memecatnya.
Baca Juga: Diskon Akhir Tahun, Cek Promo dari 3 Toko Furniture Ternama Ini!
Suasananya disesaki emosi. Salah satu penginap hotel yang tak mau ditulis namanya oleh Daily Mail, menyaksikan pelatih asal Portugal tersebut tampak bersemangat.
The Special One sempat memeluk sejumlah pegawai hotel. Dia juga sempat mengerjakan dokumen, makan camilan, lantas memberikan salam perpisahan.
“Banyak staf hotel yang menunjukkan raut wajah sedih. Sementara yang lainnya sengaja datang untuk memeluk Mourinho.”
Selang sehari, Rabu 19 Desember 2018, Manchester United resmi mengganti Mourinho dengan Ole Gunnar Solskjaer, “si pembunuh berwajah bayi” sekaligus pahlawan Red Devils dalam drama final Liga Champions 1999 kontra Bayern Munich.
Analog di Era Digital
Baca Juga: Perut Makin Buncit, Raisa Lahiran Sebentar Lagi?
Jauh hari sebelum Mou dipecat, benih-benih keruntuhan rezimnya di Old Trafford sudah kentara. Setidaknya, gejala itu mulai tampak pada awal tahun ini, tatkala United ditaklukkan Sevilla dalam babak 16 besar Liga Champions 2017-2018.
Seusai laga memalukan itu, Mourinho keluar arena dengan pernyataan, “Saya tidak ingin membuat drama. Ini adalah sepak bola, bukan akhir dunia. Saya pernah duduk di kursi ini sebelumnya (menjadi juara Liga Champions).”
Pernyataan Mourinho ada benarnya. Ia berjaya di kasta tertinggi sepak bola Eropa bersama Porto dan Inter Milan.
Namun, pernyataannya itu sekaligus menunjukkan Mourinho seakan tidak ngeh bahwa dunia sepak bola di Eropa sudah berubah.
Sepak bola pada zaman kiwari membutuhkan hal yang lebih luas. Sepak bola kini berbicara mengenai aspek detail dan teknis; sepak bola adalah menyerang; sepak bola adalah aliran deras bola dari kaki ke kaki; dan tak lupa, sepak bola kini adalah tentang memaksimalkan kemampuan para pemain binaan sendiri.
Suka atau tidak, Mourinho dianggap tak punya semua itu. Sepak bola bagi Mourinho adalah hasil akhir berupa kemenangan.
Sejak nama besarnya meroket naik dalam bursa pelatih elite Eropa bersama Porto—yang notabene klub kelas dua di Eropa barat—strategi yang diimplementasikan Mourinho terbilang efektif tapi banyak dibenci lawan-lawannya.
Mou kerapkali melecut semangat skuatnya agar bisa segera mencetak gol. Tapi setelah gawang lawan kebobolan dan skuatnya unggul, ia segera memerintahkan pion-pion di lapangan untuk bertahan habis-habiskan. Taktik Mou itu, meski dengan nada sindiran, beken disebut sebagai strategi parkir bus.
Strategi itu moncer pada eranya. Khalayak pasti bisa mengingat betapa frustrasinya Xavi—playmaker tercerdas dan terjeli pada eranya—untuk menembus lini pertanahan Inter Milan pada ajang Liga Champions 2010 yang dilatih Mourinho.
Xavi dalam pertandingan itu cuma bisa membolak-balikkan bola dari sisi kanan ke sisi kiri di lapangan tengah, karena tak ada celah lini belakang Inter yang bisa dieksploitasi.
Sementara soal mengorbitkan pemain muda binaan sendiri? Selain Scott Tominay, Mou hanya melanjutkan apa yang sudah diwariskan Louis van Gaal seperti Marcus Rashford, Andreas Pereira, dan Andre Gomez.
Selama kepemimpinannya di Man United, Mou lebih suka menghabiskan Rp 6,6 triliun untuk membeli total 11 pemain.
Siapa yang mengubah dunia tatkala Mourinho pede dengan visi sepak bolanya yang terkesan konservatif? Orang itu adalah Joseph Guardiola—yang celakanya adalah musuh bebuyutan Mou.
”Sejak Pep Guardiola mengambil alih Barcelona dan Spanyol memenangkan Euro 2008, permainan telah berubah. Sepak bola mereka mengubah banyak hal. Mereka membuat sepak bola tak lagi fokus pada bagaimana merebut bola, melainkan memainkannya,” tulis Miguel Delaney, Chief Football Writer The Independent, 14 Maret 2018.
Seusai mengalahkan Lukaku Cs, bek tengah Sevilla Simon Kjaer sebenarnya tanpa sadar menunjukkan visi strategi sepak bola Mourinho.
”Kami tahu, dalam pertandingan, United akan menciptakan peluang ’secara kebetulan’ dan bertahan. Akhirnya kami berinisiatif menyerang,” tutur Simon Kjaer, polos.
Menciptakan peluang secara kebetulan, bukan ’penciptaan’, tak pula hasil koordinasi—sungguh kejujuran Simon Kjaer yang meski keji, tapi persis mengiaskan gaya sepak bola United era Mourinho.
Miguel Delaney bersepakat dengan Simon Kjaer. Miguel dalam artikelnya tak kalah garang mengecam pola yang diterapkan Mou sehingga dikalahkan tim papan tengah La Liga Spanyol itu.
”Mengapa Mourinho hanya merasa perlu menyerang hanya 6 menit dari total 180 menit permainan? Kenapa tidak ’main’ saja? Apa yang seharusnya menjadi salah satu laga klasik Eropa di Old Tafford telah berubah menjadi penghinaan!”
Mourinho sempat membela diri saat mengomentari kekalahannya dari Sevilla. Ia bertekad mengubah segalanya di United, termasuk visi permainan.
”Segalanya harus berubah di United setelah kekalahan lawan Sevilla,” tuturnya.
Namun, Mourinho tak benar-benar mengubah filosofi Anti-Football khas dirinya di lapangan. Pola yang sama, sangat kentara tatkala Setan Merah dipermalukan Liverpool pada Minggu (16/12) akhir pekan lalu, yang berujung pada pemecatan Mou.
”Pendekatan fundamental Mourinho sudah ketinggalan zaman. Ini adalah sepak bola analog di dunia digital,” cerca Miguel Delaney.
Bukan Pragmatis, Tapi Ideologis
Seringai mengejek, mengangkat bahu, dan bermantel hitam—dengan semua gayanya di pinggir lapangan tersebut, membuat Mourinho tak ambil pusing terhadap sinisme penggemar sepak bola terhadap dirinya.
Jonathan Wilson, penulis buku Angels With Dirty Faces: The Footballing History of Argentina (2016), berdasarkan tiga ciri-ciri itu tak segan-segan menyebut Mourinho sebagai malaikat kegelapan alias dark angel.
"Tak ada yang begitu efektif membunuh permainan, tak ada yang kurang peduli terhadap pertunjukan besar di lapangan hijau ketimbang Mourinho. Ditambah seringainya, gaya mengangkat bahu, dan mantel hitam, dia adalah malaikat kegelapan sepak bola modern," tulis Jonathan Wilson dalam laman Newstatesman, 1 April 2018.
Julukan yang diberikan Wilson itu bukan tanpa alasan kuat. Mourinho sejak lama dikenal sebagai sosok pelatih yang tak memedulikan aspek hiburan tatkala timnya berlaga.
Bagi Pakde Mou, timnya berlaga untuk menang, bukan menghibur penonton dengan permainan indah. Mourinho berprinsip, justru kemenangan timnya lah yang menjadi hiburan terbaik bagi penonton.
Filosofi Anti-Football itu pula yang diboyong Mourinho ketika didapuk menjadi pelatih Man United. Tindakan itu terbilang berani.
Sebab, Man United adalah klub tersukses sepanjang sejarah sepak bola Inggris, klub terkaya di dunia, dan sejak era 1950-an, United adalah sinonim dari permainan menyerang nan indah sekaliguh pongah.
“Terkadang, saya merasa orang-orang berpikir bahwa bertahan dalam permainan sepak bola adalah tindakan kriminal," ketus Mourinho pada Oktober 2017, setelah United menang 1-0 atas Benfica dalam leg pertama Liga Champions.
Dalam kemenangan melawan Benfica di Lisbon itu, United benar-benar bertahan sejak unggul satu gol. "Tapi bagiku, itu bukan kejahatan," tukasnya.
Pernyataannya itu, bagi Jonathan Wilson, adalah khas premis apologi. Mourinho menggambarkan dirinya sebagai korban, tapi meninggalkan konteks bahwa gaya defensif adalah menunjukkan skuat asuhannya takut untuk menyerang.
”Pernyataan pembelaan seperti itu adalah sepotong pepatah klasik Mourinhismo,” cemooh Wilson.
Mengutip cemoohan legendaris Lev Filatof—penulis isu-isu sepak bola asal Rusia—pola permainan ultra-defensif alias Anti-Football seperti yang diperagakan Mourinho itu sebagai ”hak asasi bagi kaum lemah!”
Ketika Manchester United mengalahkan Ajax pada laga final Liga Eropa 2017 dengan skor 2-0, Mourinho yang bersuka cita menggambarkannya sebagai ”Kemenangan pragmatisme, kemenangan orang-orang yang rendah hati, kemenangan rakyat yang menghormati lawan, kemenangan orang-orang yang mencoba menghentikan lawan dan mengeksploitasi kelemahan mereka ”.
Sementara Manajer Ajax, Peter Bosz, mengatakan laga final kontra United asuhan Mou "Membosankan".
Tapi Mourinho tidak peduli. "Ada banyak penyair dalam sepakbola," sindirnya, "tetapi penyair tidak memenangkan gelar."
Mourinho oleh para pembencinya—atau setidak-tidaknya orang yang menyukai sepak bola indah—selalu digambarkan sebagai pragmatis: melakukan apa pun yang diperlukan untuk menang.
Namun, mungkin, tuduhan itu tak sepenuhnya akurat. Sejak kemunculan Pep Guardiola yang langsung menjadi rival abadinya, ada kemungkinan lain ikut muncul.
Pertarungannya dengan Guardiola—seorang misionaris tiki-taka, gaya permainan terbuka, menyerang—di Spanyol dan kemudian Inggris menunjukkan filosofi anti-football Mourinho bukan sekadar bentuk pragmatisme, melainkan ideologis.
Guardiola adalah pemain senior di Barcelona ketika Mourinho meniti karier pertamanya dalam melatih pada klub yang sama. Mourinho awalnya merupakan asisten Bobby Robson di Barcelona. Saat Bobby digantikan Louis van Gaal, ia juga masih bercokol sebagai asisten.
Mourinho dan Guardiola kerap kali bentrok. Awalnya, mereka bentrok dalam laga Liga Champions 2010, saat Mou melatih Inter Milan dan Guardiola di Barca.
Kemudian, keduanya mengarungi dua musim yang sangat bergelora di La Liga Spanyol, setelah Mourinho mengambil tawaran melatih Real Madrid.
”Dari semua pertarungan keduanya, mungkin pragmatisme adalah tuduhan yang terlampau sederhana. Mungkin, Mourinho mempertahankan gaya permainan membosankan itu karena alasan ideologis. Ya, ideologi bahwa Mourinho bukan Guardiola,” tukas Jonathan Wilson.
Teguh memegang filsafat anti-football, Mourinho telah memenangkan delapan gelar liga di empat negara berbeda selama 14 tahun terakhir, mula dari Porto, Chelsea, Inter Milan, dan Real madrid.
Karier mengilap Mourinho di liga lokal itu, belum ditambah dua kali juara Liga Champions dan delapan piala kejuaraan domestik.
Namun, kemilau curicculum vitae itu, tak membuat Manchester United dulu benar-benar menginginkan Mourinho.
Tahun 2012 silam, ketika bos-bos United mulai merenungkan masa depan mereka tanpa Sir Alex Ferguson, direktur klub saat itu yakni Bobby Charlton sudah berikrar, “Kami tak mempertimbangkan Mourinho.”
Charlton memunyai alasan jelas dalam ikrarnya itu. Baginya, gaya sepak bola Mourinho tidak cocok dengan Man United yang gandrung terhadap pola menyerang dan umpan-umpan indah.
Selain gaya permainan, Charlton juga tak memperhitungkan Mourinho karena kepribadiannya.
Charlton kala itu mengakui, insiden dalam laga Piala Super Spanyol 2011 antara Real madrid Vs Barcelona, membuatnya kehilangan respek terhadap Mourinho.
Dalam laga emosional yang berujung perkelahian massal tersebut, Mourinho terekam kamera menyelinap di belakang pelatih Barca yang kekinian sudah almarhum, yakni Tito Vilanova, dan tampak mencolok mata Tito memakai jari.
"Seorang manajer United," kata Charlton, "tidak akan melakukan apa yang dia lakukan pada Tito Vilanova ... Mourinho adalah pelatih yang benar-benar bagus, tetapi itu sejauh yang saya bisa katakan."
Karena itulah, sebagian pihak, menilai pengangkatan Mourinho sebagai pelatih kepala di United lebih mengiaskan dua hal di luar teknis sepakbola.
”Mourinho menjadi manajer Man United lebih menunjukkan perubahan susunan dewan direksi, yang diisi orang-orang Amerika Serikat yang berorientasi bisnis. Selain itu, penunjukkannya juga menggambarkan keputus asaan orang-orang AS itu,” tuding Jonathan Wilson.
Apalagi, penunjukkan Mourinho dilakukan United setelah ”tetangga berisik” mereka, Manchester City, berhasil memenangkan hati Pep Guardiola untuk datang melatih.
City beberapa tahun sebelumnya juga mati-matian mencari sosok pelatih yang pas dan bisa menghadirkan banyak piala di museumnya yang nyaris kosong melompong.
Guardiola datang ke Man City sebagai sosok yang radikal sekaligus puritan dalam menerapkan tiki-taka nan indah bersama Barcelona dan Bayern Munich.
Karena itu pula, Man United terpaksa harus menunjuk pelatih yang pernah menghentikan Pep Guardiola memenangkan gelar juara di Spanyol tahun 2012, yakni Mourinho.
Namun, setelah pemecatan pekan ini, satu-satunya hal yang patut diajukan sebagai pertanyaan adalah, apakah Mourinho tetap memperjuangkan fisolofi Anti-Footballnya?