Suara.com - “Messsi, Messi, ayo, Messsi,” teriak Maradona, ketika Lionel Messi mengambil ancang-ancang menendang bola dari titik putih. Namun, detik-detik selanjutnya, sang legenda berteriak kecewa. Messi gagal mencetak gol. Argentina harus puas diimbangi Islandia di Rusia.
Minggu pekan ini, mega bintang tim nasional sepak bola Argentina, Lionel Messi, berulang tahun yang ke-31. Namun, Rusia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk perayaan suka cita, melainkan bisa jadi sebagai kuburan impian La Pulga.
Piala Dunia 2018 di Rusia, adalah kesempatan terakhir Messi unjuk gigi di pentas tertinggi sepak bola sejagat.
Sebab, empat tahun lagi, Messi sudah terlampau tua untuk ukuran pesepak bola, yakni 35 tahun, kalau ingin membuktikan diri di PD 2022 Qatar.
Baca Juga: Portugal Vs Maroko, Susunan Pemain dan Formasi
Tapi, petualangan Messi di palagan terakhirnya, negeri Beruang Merah, justru tak mulus. Pada laga perdana Grup D, Argentina dipaksa Islandia menikmati hasil imbang 1-1, Sabtu (16/6) pekan lalu.
Pada laga itu pula, jutaan pasang mata menyorot Messi yang gagal merobek jala gawang Islandia yang dikawal seorang sutradara film, Hannes Halldorsson.
Pemain pujaan publik Barcelona dan ikon La Liga Spanyol itu, tak mampu menaklukkan Hannes meski menembak bola dari titik putih.
Karenanya, banyak analis menilai PD 2018 di Rusia adalah puncak penampilan Messi bersama Argentina yang bakal berakhir antiklimaks.
Messi, dinilai tak bakal mampu menorehkan namanya memakai tinta emas di piala dunia seperti pendahulunya, Diego Armando Maradona.
Baca Juga: Cerita Penumpang Lolos dari Maut saat KM Sinar Bangun Tenggelam
Sang kapten yang dikenal sebagai “La Pulga” (kutu) sejak debutnya di Barcelona pada 16 Oktober 2004, sudah dianggap sebagai “titisan Maradona”.
Sejak saat itu, Messi banyak menorehkan banyak sejarah di tingkat klub. Namun, satu hal yang belum dicatatkan oleh Messi demi menyamai Maradona: menangkat tropi piala dunia.
“Bagi banyak orang Argentina, semua torehan sejarah Messi bersama Barcelona menempatkannya sebagai pemain terbaik dunia saat ini. Tapi, Messi belum masuk panteoen yang sama seperti Maradona ‘El Pibe' (si bocah) yang memenangkan PD 1986,” tulis Andrew Cawthorne, jurnalis Reuters yang melakukan reportase di Rusia.
Impian Messi untuk merengkuh juara dunia seperti Maradona di Rusia sejak awal sudah harus melewati jalan terjal.
Pada laga kualifikasi kawasan Amerika Latin, Messi tampil kurang menggigit. Bahkan, Argentina harus berjuang sampai laga terakhir, yakni melawan Ekuador.
Jalan Messi semakin sulit pada menit ke-64 laga melawan Islandia, yakni ketika tendangan penaltinya dijinakkan Hannes Halldorsson.
Maradona, kini berusia 57 tahun, menghibur Messi seusai laga tersebut.
“Kubilang kepada Mesi, ‘Hei, aku dulu melewatkan 5 penalti berturut-turut. Hasil imbang 1-1 melawan Islanda adalah kegagalan kolektif’, begitulah,” tutur Maradona.
Hal yang sama berlaku bagi Guillermo Aguirre, fans fanatik timnas Argentina yang turut ke Rusia, Messi tetap seorang bintang pujaan meski hasil PD 2018 tak seperti yang diharapkannya.
"Dengar, aku mencintai Messi, kita semua mencintainya. Dia sukses besar di klub, tapi bukan jaminan untuk tingkat internasional,” tutur Aguirre yang sedang berjalan-jalan di Nizhny Novgorod, Rabu (20/6), ketika para fans Argentina mulai berdatangan untuk pertandingan melawan Kroasia pada Kamis besok.
"Saya ingin melihat dia mengangkat tropi di Rusia, sehingga perdebatan apakah dia bisa setara Maradona bisa berakhir. Tapi bagaimana pun, perbandingan keduanya tidak adil bagi Messi,” tambahnya.
Sementara banyak pihak lain berharap Messi menyatakan pensiun dari timnas seusai PD 2018 Rusia. Messi sendiri pernah pensiun ketika kalah adu penalti di laga final Copa America 2016 melawan Chile. Namun, Messi lantas membatalkan pensiunnya tersebut.
“Messi sudah memenangkan Pemain Terbaik Dunia sebanyak lima kali. Dia juga sudah merasakan indahnya menjadi juara La Liga dan juga Liga Champions, apalagi?” kata penulis olah raga yang berbasis di London, Greg Lea, dalam artikelnya untuk The Sportman.
"Liga Champions sekarang adalah puncak dari permainan global dalam hal kualitas, dan Messi telah memenangkan itu pada beberapa kesempatan," tambahnya.
Nun jauh di Argentina, publik negeri itu sebenarnya sudah memuja Messi bak Maradona. Wajah Messi menghiasi banyak papan iklan.
Topeng, baju, dan buku-buku kisah hidupnya banyak di jual kepada publik Argentina. Tapi, kisah hidupnya memang tak sesimpatik Maradona.
Maradona, yang muncul dari perkampungan kumuh menjelma sebagai maha bintang sepak bola kesayangan publik Argentina pada zamannya.
Maradona pula yang berani membuka aibnya sendiri, yakni kecanduan obat-obatan dan alkohol. Setelah pensiun, publik semakin mencintai Maradona lantaran komitmennya terhadap pemerintahan sayap kiri di Argentina.
Sang legenda juga dihormati publik Amerika Latin bukan hanya kepiawaiannya menggocek bola dulu, tapi juga simpatinya terhadap politik Sosialisme yang diganderungi kawasan tersebut.
Sebaliknya, Messi sejak berusia 11 tahun sudah hijrah ke Spanyol, dan memiliki citra keluarga teladan. Tapi, jika dia gagal lagi di Rusia, tetap ada simpati dari rekan-rekan seprofesinya.
"Kamu tidak bisa memberikan semua tanggung jawab kepada Messi. Karena dengan begitu, apa gunanya kamu berada di sana?" kata mantan pemain depan Argentina, Claudio Caniggia.
"Messi tidak mendapat dukungan yang sama dari rekan setimnya sebagai Maradona."