Suara.com - Harga emas dunia mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, menembus di atas $3.500 per ons (sekitar Rp57,5 juta) pada Selasa (22/04/2024).
Kenaikan harga emas itu terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump melancarkan kritik tajam terhadap Ketua Federal Reserve Jerome Powell.
Ketegangan ini memicu kepanikan pasar dan meningkatkan permintaan global terhadap aset safe haven seperti emas.
Pada pukul 07.43 GMT, harga emas spot tercatat naik 1,5 persen ke level $3.474,41 per ons (sekitar Rp57,1 juta), setelah sempat menyentuh puncaknya di $3.500,05 (Rp57,5 juta).
Sementara itu, emas berjangka AS naik 1,8 persen menjadi $3.485,10 (Rp57,3 juta).
“Langkah terbaru dari reli dipicu oleh serangan publik Presiden Donald Trump terhadap Ketua Federal Reserve Jerome Powell,” kata Alexander Zumpfe, pedagang logam mulia dari Heraeus Metals Germany dikutip dari Alarabiya.
Pasar Terpukul, Emas Menguat
Kritik keras Trump terhadap Powell muncul setelah bank sentral AS tidak menurunkan suku bunga seperti yang diharapkannya.

Ketegangan ini menyebabkan indeks saham Wall Street jatuh sekitar 2,4 persen pada Senin dan membuat nilai tukar dolar AS melemah ke titik terendah dalam tiga tahun terakhir.
Melemahnya dolar AS menjadikan emas lebih murah bagi investor di luar negeri, mendorong permintaan global yang semakin tinggi.
Baca Juga: 10 Kejutan di 100 Hari Pertama Trump Jilid 2 yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
“Biasanya, ketika pasar saham anjlok seperti yang terjadi kemarin di AS, emas juga ikut melemah akibat tekanan likuidasi. Tapi kali ini berbeda, emas justru tetap bertahan dan melanjutkan reli,” ujar analis Rhona O’Connell dari StoneX.
Arah Emas Selanjutnya: Target $3.600?
Menurut Zumpfe, emas masih akan ditopang kuat oleh ketidakpastian politik dan kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan moneter AS.
Saat ini, level dukungan teknis utama berada di $3.450 (Rp56,7 juta) dan $3.400 (Rp55,9 juta), sementara target psikologis berikutnya adalah $3.600 (Rp59,1 juta) per ons.
Sejauh tahun ini, harga emas telah naik hampir 33 persen, didorong oleh kombinasi faktor geopolitik, tekanan inflasi global, dan kekhawatiran akan arah independensi Federal Reserve di bawah tekanan politik dari Gedung Putih.
Logam Mulia Lainnya Bergerak Campuran
Selain emas, logam mulia lainnya menunjukkan pergerakan harga yang beragam:
Perak spot turun 0,6 persen menjadi $32,5 per ons (sekitar Rp534 ribu).
Platinum naik 0,7 persen ke $967,84 per ons (sekitar Rp15,9 juta).
Paladium menguat 1,9 persen menjadi $944,73 per ons (sekitar Rp15,5 juta).
Pasar Menanti Sinyal dari Pejabat The Fed
Investor kini tengah menantikan pidato dari beberapa pejabat senior The Fed yang dijadwalkan akhir pekan ini, untuk mencari kejelasan arah kebijakan moneter selanjutnya di tengah situasi pasar yang bergejolak.
Isu intervensi politik terhadap bank sentral menjadi sorotan, terutama setelah Trump secara terbuka mendesak Powell untuk memangkas suku bunga, menyebut langkah Fed sebagai “penghambat pertumbuhan ekonomi AS.”
Sebelumnya, Trump secara terbuka mengancam akan memecat Ketua The Fed Jerome Powell, memicu kekhawatiran mendalam di kalangan pelaku pasar dan pengamat ekonomi atas stabilitas lembaga keuangan paling berpengaruh di dunia itu.
Trump, yang saat ini tengah mendorong agenda ekonomi ambisius melalui kebijakan tarif besar-besaran terhadap sebagian besar negara mitra dagang AS, menuntut The Fed segera memangkas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan.
Namun permintaan itu bertabrakan dengan sikap hati-hati Powell dan para pembuat kebijakan bank sentral yang menilai inflasi masih menjadi ancaman.
“Jika saya ingin dia keluar, dia akan segera keluar, percayalah,” ujar Trump pada Kamis lalu, merujuk pada Powell, yang masa jabatannya sebagai Ketua The Fed dijadwalkan berakhir pada Mei 2026.
Powell sendiri menegaskan bahwa ia tidak berniat mengundurkan diri, dan menekankan bahwa independensi kebijakan moneter merupakan “masalah hukum” yang tidak bisa begitu saja diganggu oleh tekanan politik.
Pernyataan ini langsung memicu perdebatan luas di kalangan ekonom dan pengamat pasar.
“Fakta bahwa ketua The Fed merasa harus secara terbuka mengklarifikasi posisinya menunjukkan bahwa tekanan dari Gedung Putih sangat serius,” kata Diane Swonk, Kepala Ekonom KPMG, kepada AFP.
Senada dengan itu, Stephanie Roth, Kepala Ekonom Wolfe Research, mengatakan bahwa konflik antara Trump dan Powell tidak terhindarkan, namun ia tidak percaya bahwa The Fed akan tunduk pada tekanan politik.