Suara.com - Kasus gagal bayar pada platform Peer-to-Peer (P2P) Lending Akseleran kembali menjadi sorotan publik. Enam pemberi pinjaman (lender) yang diwakili oleh kantor hukum Badranaya Partnership melaporkan kerugian sebesar Rp1,67 miliar, akibat wanprestasi pinjaman yang telah macet selama lebih dari 90 hari, tanpa realisasi klaim asuransi yang sebelumnya dijanjikan.
Dalam keterangan resmi, kuasa hukum para lender, Sony Hutahaean, menegaskan bahwa seluruh pinjaman yang mengalami gagal bayar tersebut telah termasuk dalam skema perlindungan asuransi gagal bayar.
Skema tersebut merupakan bagian dari komitmen Akseleran dan mitra asuransinya, yang menjanjikan penggantian hingga 99% dari pokok pinjaman dalam waktu maksimal 10 hari kerja setelah klaim diajukan. Namun, kenyataannya para lender justru menghadapi jalan buntu.
“Janji proteksi tersebut hanya menjadi semacam iklan terselubung. Tidak ada realisasi nyata, yang ada justru kekecewaan dan ketidakpastian hukum,” ucap Sony ditulis Rabu (16/4/2025).
Diduga Langgar Prinsip Kehati-hatian dan Regulasi OJK
Lebih lanjut, Sony mengungkapkan adanya pengakuan dari pihak manajemen Akseleran dalam pertemuan daring bersama lender. Dalam forum tersebut, Akseleran mengakui adanya kesalahan internal dalam pengelolaan dana pemberi pinjaman serta pengambilan keputusan yang merugikan lender.
Bahkan, Komisaris Utama Akseleran disebut mengungkap praktik refinancing terhadap debitur bermasalah tanpa prosedur kebijakan yang jelas.
Tindakan ini dinilai bertentangan dengan Prinsip Dasar Pedoman Perilaku dari Asosiasi FinTech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yang melarang pemberian pinjaman di luar kemampuan bayar debitur.
“Ini pelanggaran serius terhadap prinsip kehati-hatian. Bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 35 ayat (1) dan (2) POJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi,” tambah Sony.
Baca Juga: Laba Jasindo Naik 549 Persen, Capai Rp70 Miliar
AFPI dan OJK Dianggap Lalai dalam Pengawasan