Jangan Ketinggalan Negara Tetangga, Pemerintah Diminta Rombak Kebijakan Investasi Asing

CME Chief Economist, Alvin Desfiandi mengatakan, menyoroti pentingnya reformasi kebijakan investasi asing agar lebih terbuka, efisien, dan inklusif.
Suara.com - Center for Market Education (CME) bersama Universitas Prasetiya Mulya secara resmi meluncurkan kajian kebijakan atau Policy Brief terkait dengan investasi asing. Policy Brief ditulis oleh Alfian Banjaransari, Alvin Desfiandi, Carmelo Ferlito, Yohanes Kadarusman, dan Rama Poerba.
Policy brief ini diluncurkan bersamaan dengan Business Economics Conference (BEC) 2025 yang digelar di kampus BSD Universitas Prasetiya Mulya.
CME Chief Economist, Alvin Desfiandi mengatakan, menyoroti pentingnya reformasi kebijakan investasi asing Foreign Direct Investment (FDI) agar lebih terbuka, efisien, dan inklusif.
Menurut dia, di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh perang tarif yang masih berlangsung, Indonesia harus proaktif.
Baca Juga: Ahmad Luthfi Tawarkan Langsung Investasi kepada 100 Investor dari 5 Negara
"Negara tetangga sudah menjemput bola, Indonesia jangan sampai ketinggalan. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mendorong masuknya arus investasi asing. Tidak hanya fokus kepada tujuan jangka panjang, tetapi juga capaian jangka pendek yang bisa diraih melalui deregulasi yang tepat sasaran," ujarnya seperti dikutip, Rabu (16/4/2025).
Asia Tenggaran, kekinian menjadi kawasan tujuan investasi global terbesar pasca pandemi COVID-19. Di saat arus investasi dunia menurun drastis, turun 33 persen dari USD2 triliun pada 2015 menjadi USD1,3 triliun pada 2023, Asia Tenggara justru mencatatkan pertumbuhan signifikan sebesar 92 persen, dari USD120 miliar menjadi USD230 miliar di periode yang sama.
Bukan sekedar angka, arus modal yang masuk ke Indonesia berdampak langsung dan nyata terhadap masyarakat luas, mulai dari pelaku UMKM hingga jaringan pemasok lokal.
Indonesia sejatinya tidak tinggal diam. Indonesia sudah menjalankan sejumlah fundamental reforms. Namun, meminjam istilah Bank Dunia, tantangan ke depan ada pada efficiency reforms: reformasi yang mendorong produktivitas dan daya saing.
Menurut Bank Dunia, inilah jalan krusial agar Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi sesuai visi Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: Tarif Impor Naik? Mitsubishi Pilih Bermain 'Catur' Alih-Alih Panik
Kekinian, kontribusi FDI terhadap PDB Indonesia masih di bawah 2 persen, dibawah negara tetangga seperti Vietnam yang sudah mencapai 4-5 persen. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar investasi asing ke Indonesia masih bersifat market-seeking, yang mengandalkan demografi raksasa Indonesia semata tanpa mendorong produktivitas atau ekspor.