Terakhir, likuiditas lembaga keuangan relatif ketat dan potensi pertumbuhan permintaan bisnis mendorong perusahaan mencari alternatif dana dengan tenor lebih panjang daripada pinjaman perbankan, seperti obligasi korporasi, untuk mendukung asset-liability keuangan.
Di samping berbagai peluang tersebut, Pefindo juga melihat beberapa tantangan yang sebagian berasal dari global.
Pertama yaitu risiko geopolitik diperkirakan masih tinggi seiring perang masih berlanjut di Timur Tengah dan Eropa Timur, sehingga membuat pasar lebih volatile dan premi yang lebih besar.
Selanjutnya, ketidakpastian meningkat akibat kebijakan ekonomi global, terutama karena perang dagang dan pelonggaran moneter Amerika Serikat (AS) yang lebih lambat, berpotensi menyebabkan nilai tukar maupun yield tertahan untuk turun.
Ketiga yakni rencana penerbitan surat utang pemerintah yang akan lebih besar menahan yield untuk bisa turun lebih jauh. Hal ini mengingat nilai surat utang jatuh tempo pada tahun 2025 meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu, serta adanya kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang ditargetkan lebih besar dibandingkan tahun lalu.
"Dengan kondisi tersebut, maka yield benchmark di pasar obligasi sendiri kami perkirakan akan bisa tertahan untuk turun lebih jauh meskipun tadi terdapat pelonggaran kebijakan moneter yang masih diperkirakan masih akan berlanjut di tahun ini. Dengan yield yang tertahan lebih jauh, maka ini akan menjadi risiko bagi pembentukan kupon di market untuk bisa turun lebih jauh," kata Suhindarto.
Poin keempat adalah investor utama yang cenderung untuk menghindari peringkat tertentu (BBB ke bawah) dan sektor tertentu, membuat risiko penerbitan dari peringkat maupun sektor tersebut terbatasi.
Adapun tantangan terakhir ialah persaingan dari instrumen subtitusi seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Utang Negara (SUN) berpotensi membayangi dan membuat penyerapan penerbitan masih kurang maksimal. Pengamatan ini didasari pertumbuhan dana potensial yang bisa digunakan masyarakat, sebagaimana tercermin dalam gross national saving rate, lebih lambat dibandingkan penerbitan surat utang dari pemerintah selama beberapa tahun terakhir.
Akibat kondisi tersebut, maka ini dianggap bisa menjadikan risiko penyerapan obligasi korporasi yang diterbitkan di pasar nantinya kurang maksimal.
Baca Juga: Sejumlah Hakim Ditangkap Kejagung Gegara Kasus Suap, DPR Minta Mahkamah Agung Berbenah