Bujuk Trump! Indonesia Bakal Borong Produk Impor AS Senilai Rp306 Triliun

Senin, 14 April 2025 | 18:22 WIB
Bujuk Trump! Indonesia Bakal Borong Produk Impor AS Senilai Rp306 Triliun
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. [Suara.com/Novian]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah Indonesia berencana untuk menambah impor dari Amerika (AS) senilai 18-19 miliar dolar AS atau setara Rp306 triliun (Rp17.000) sebagai bagian dari strategi negosiasi tarif timbal balik atau resiprokal Presiden Donald Trump.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan kebijakan penambahan belanja tersebut menjadi bagian dari upaya menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.

“Dan juga rencana daripada Indonesia untuk mengkompensasikan delta daripada ekspor dan impor (AS) yang besarnya 18-19 miliar dolar (AS),” kata Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, menukil Antara, Senin (14/4/2025).

Pemerintah sendiri telah mempersiapkan sejumlah komoditas yang menjadi target impor, meski belum bisa dirinci karena proses negosiasi masih belum berlangsung.

Keseriusan pemerintah dalam menghadapi potensi gejolak perdagangan ini dibuktikan dengan persiapan matang menjelang pertemuan dengan Pemerintah AS di Washington DC pada 16–23 April 2025 mendatang. Tim negosiasi yang dipimpin langsung oleh Menko Airlangga telah mengantongi "non-paper" yang komprehensif, berisi berbagai poin penting terkait tarif, hambatan non-tarif (non-trade measures atau non-tariff barrier), dan isu-isu strategis lainnya.

"Nah tentu beberapa hal tadi sudah dibahas dengan kementerian dan lembaga sehingga kami sudah mempersiapkan non-paper yang relatif lengkap, baik itu yang terkait dengan tarif, terkait dengan non-trade measures atau non-tariff barrier," jelas Menko Airlangga, menunjukkan persiapan taktis dalam menghadapi meja perundingan.

Namun, ia memastikan bahwa barang-barang yang akan dibeli merupakan komoditas yang memang dibutuhkan di dalam negeri serta tidak akan ganggu produksi domestik.

"Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Nilainya mendekati 18 miliar dolar AS," tuturnya.

Lebih lanjut, Menko menjelaskan bahwa beberapa barang yang selama ini rutin diimpor dari AS adalah produk agrikultur seperti gandum (wheat) dan kedelai (soybean).

Baca Juga: Rencana Bahlil Mau Tambah Minyak Mentah dan Impor LPG dari AS Dapat Restu dari DPR

Selain itu, ada kemungkinan impor energi seperti Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan Liquefied Natural Gas (LNG).

Rencana penambahan impor ini tak hanya dimaksudkan sebagai kompensasi dagang, melainkan juga menjadi pintu masuk pembahasan kerja sama kedua negara yang lebih luas.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia telah mengirimkan surat resmi ke Amerika.

"Nah tentu beberapa hal tadi sudah dibahas dengan kementerian dan lembaga sehingga kami sudah mempersiapkan non-paper yang relatif lengkap, baik itu yang terkait dengan tarif, terkait dengan non-trade measures atau non-tarif barrier," ucapnya.

Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menambahkan perspektif lain terkait langkah ini. Ia menjelaskan bahwa penambahan impor ini secara eksplisit bertujuan untuk "menambal" defisit perdagangan yang dialami AS terhadap Indonesia. Data menunjukkan bahwa AS mencatat defisit perdagangan dengan Indonesia sebesar 17,9 miliar dolar AS pada tahun 2024.

"Konteksnya penambalan defisit, jadi harus dihitung di neraca perdagangan. Intinya kita membeli barang dari US untuk menutup defisit," terang Susiwijono, menggarisbawahi logika ekonomi di balik kebijakan ini.

Menariknya, data Kementerian Perdagangan justru mencatat surplus perdagangan yang signifikan bagi Indonesia terhadap AS, mencapai 14,34 miliar dolar AS pada tahun yang sama. Kontributor utama surplus ini berasal dari sektor-sektor unggulan seperti mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian, dan alas kaki.

Langkah agresif Indonesia untuk meningkatkan impor secara signifikan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam menghadapi potensi kebijakan perdagangan yang merugikan.

Strategi "beli untuk berdamai" ini diharapkan dapat meluluhkan hati Gedung Putih dan membuka jalan bagi hubungan dagang yang lebih adil dan saling menguntungkan di masa depan. Pertanyaannya kini, mampukah "jurus" belanja jumbo ini menjadi penawar ampuh bagi kebijakan tarif ala Trump? Kita tunggu perkembangan selanjutnya dari Washington DC.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI